Lihat ke Halaman Asli

Kolaborasi Mamar, Herlya An- Nisa dan Aris Basuki

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

A

Dyah Ayu. Namanya Dyah Ayu, perempuan yang kini sedang menguasai keseluruhan jantungku, karena setiap memikirkannya ia akan berdetak semakin cepat dan seakan-akan sebuah pompa maha besar dan dahsyat yang mengisap darahku ke dalamnya dan memuntahkannya untuk semakin membanjiri pembuluh darahku. Entah mengapa, bagiku nikmat sekali rasanya. Aku selalu menyempatkan waktuku untuk menunggu dan memperhatikannya, segala gerak-geriknya terutama di jam-jam sepulangnya bekerja. Entah dari kios rokok di seberang jalan itu, dari tempat gerombolan tukang-tukang ojek yang mulutnya cerewet itu, atau seperti malam ini, di sini, di balik kaca hitam mobil ini aku pun telah menunggu. Minggu pertama dan ketiga sif siang, minggu kedua dan keempat sif pagi, sementara setiap hari selasa adalah jatah libur umumnya setiap bulan belum dihitung libur umum untuk hari-hari besar selain hari minggu. Jika sif pagi, Dyah ayu akan keluar dari toserba itu sekitar pukul 4 sore, jika sif siang dia akan keluar pukul 9 malam. Aku geli sendiri. Sampai demikian dalamnya aku mencoba mengetahui tentangnya hingga kepada jadwal dinasnya, tapi memang hanya sebatas itu karena aku tak pernah punya keberanian untuk mendekatinya. Kecuali malam ini. Malam ini adalah puncak segala kesabaran dan ketabahanku menahan hasrat yang menggebu kepadanya. Telah sekian lama aku hanya memendam rasa dan malam ini akan menjadi malam yang sangat tepat bagiku, bagi dia, untuk menyelesaikan segalanya, dendam perasaan ini. Aku mengerti, jika tiada tersalurkan perasaan ini akan membunuhku pelan-pelan. Karena memang tanpa disangka, hampir setengah percaya jika ini bukan sebuah kebetulan, malam ini telah kutemukan kesempatan yang terbaik yang telah lama kunantikan datangnya. Betul, kesempatan itu telah datang dan tak akan kusia-siakan, pikirku sambil menepuk-nepuk lembut jok mobil yang kududuki dan merasa girang dalam hati. Dengan sedikit mengangkat pantatku, tanganku menjulur dari tempatku duduk di jok belakang untuk meraih telepon genggam pada dasbor. Kubuka dan kubaca-baca sebentar pesan-pesan di dalamnya sambil tertawa geli, lalu menuliskan teks sebagai balasan dari pesan Dyah ayu yang masuk beberapa waktu sebelumnya: ya, aku sudah di luar, Ma.. Aku tertawa lagi setelah melemparkan telepon genggam itu kembali ke dasbor, badanku kusandarkan ke belakang dengan santai, lalu sambil bersenandung lirih dan tidak dapat kupungkiri, dengan hati yang sangat riang, kutimang-timang senar gitar nomor 5 di tanganku yang baru saja kutarik dari jok pengemudi..menggulungnya, menariknya, menggulungnya, menariknya... ***** Aku jadi ingat Jaenab, bunga desa merangkap guru ngaji pemilik bibir tipis kemerahan. Wanita itu langsung menggetarkan hatiku pada pertemuan pertama. Pesonanya mampu menarik air liur hingga bibirku berdecak. Ah, tidak  hanya aku, orang lain juga, pikirku. Saat itu aku sedang berlibur ke rumah paman di desa yang letaknya persis di bawah kaki gunung. Rumah-rumah di desa itu jarang, lebih tepatnya berjauhan, tapi keramahan antar penduduk tercipta erat. Tegur sapa tidak luput kala dua warga bertemu di mana saja; di pematang sawah, di jalan setapak, atau di pinggir sungai. Sore, dua hari setelah di sana, kala menikmati secangkir kopi di beranda, lewatlah wanita berjilbab putih memeluk tas kecil di dadanya. Dari jauh sepertinya dia sudah melihatku. Mungkin malu atau bisa jadi risih belum kenal, dia menekur dalam langkahnya. Masih bisa aku pandangi lamat-lamat bibir tipisnya yang kemerahan. Kopi yang tadi hampir menyentuh bibir, aku letakan lagi ke posisi semula. Kepalaku sampai maju dibantu alis mengkerut agar lebih jelas menangkap wajahnya. Semakin dekat, kepakan rok panjangnya berkelebat mengikuti irama langkah yang dipercepat. Jantungku berdetak cepat, penasaran ingin melihat wajahnya secara utuh, untuk itu aku bangkit dan berdehem memancing perhatiannya. Sayang, dia masih menekur, malah wajahnya dicondongkan berlawanan dari wajahku. Menelan ludah, aku pandangi tubuhnya dari belakang meliuk ke barat. Sumpah, pinggul yang bergoyang perlahan itu, menghina gairah terliarku. "Namanya Jaenab." Suara itu membuatku kaget. Ternyata paman sudah ada di depan pintu, tersenyum, dengan badan menyender di kusen. "Cantik ya?" tanya paman meledek. Dia hempaskan pantatnya ke bangku depan. Aku hanya mengangguk pelan sambil menyaksikan tubuh Jaenab yang baru saja hilang ditelan tikungan. "Tahu saja kau barang bagus." Ada seringai di ujung bibir paman. Aku menanggapinya datar. Malah pura-pura tidak mendengar. Tapi sepertinya aksiku yang tertangkap basah tadi, tidak mampu membohongi anggapannya. "Sudahlah, akui saja. Heh.." kepalanya melihat ke belakang, "Aku pun suka padanya. Hahaha.." Tawa tak mampu ku tahan. Pamanku memang lucu. Setahuku semua orang suka padanya karena mampu menghibur dalam setiap kata yang terlontar. Bahkan untuk hal serius pun, dapat dia selipkan canda tanpa melecehkan inti pembicaraan. Setelah itu, tanpa ku pinta, paman menerangkan bahwa Jaenab itu mengajar ngaji di surau  yang letaknya tidak jauh dari air terjun. Kecuali hari kamis dan minggu, dia tiap hari lewat depan rumah paman. Bahwa banyak yang suka padanya, aku bisa menebaknya. Kata paman lagi, sudah banyak pria silih berganti mencoba melamar, tapi orang tuanya menolak selalu. "Coba kau dekati, pasti bapaknya setuju. Bila dia tahu kau dari kota, haha, bisa hijau matanya." "Enggak ah. Aku lebih suka wanita kota. Lebih seksi dan mudah dicolek." Tentu saja aku berbohong. Menutupi maksud yang pamanku tidak boleh tahu. Terlalu sayang melewati wanita seayu itu. Malaikat pun, andai Tuhan tidak memberinya ketaatan abadi, mau juga melanggar dosa demi menuntaskan hasratnya. Malam itu aku tidak bisa tidur. Bibir tipis kemerahan mengacak-acak pikiranku. Pinggul yang bergoyang dan kelebat rok panjang memompa jantungku lebih cepat. Sial, aku sampai keluar keringat membayangkan kecantikannya. Padahal udara pengunungan jangan ditanya dinginnya. Ah ini tidak bisa dibiarkan, batinku meyakinkan. Tanpa paman tahu, selama beberapa hari aku mengawasi Jaenab pergi pulang dari surau. Lewat mana dia jalan dan belokan mana yang dipilih aku pelajari betul. Dan yang lebih penting, dimana jalan yang paling sepi dan gelap saat dilewati. Setelah cukup mempelajari, aku bersembunyi di belakang pohon besar menunggu Jaenab pulang. Selain gelap, pohon-pohon besar berdiri tegap di kedua sisi jalan ini. Tanpa bantuan penerangan yang cukup, mustahil dia bisa melihatku. Sejenak ku tengadah langit, bulan pucat sedang bulat, ah malam yang sempurna. Jaenab lewat dengan langkah biasa tepat di waktu yang ku duga. Dia terlihat tidak takut apalagi curiga. Suara air terjun yang bergemuruh memudahkan niatku. Dari persembunyian, kunikmati wajahnya yang tertimpa sinar rembulan. Kurasakan celanaku menjadi sempit. ***** Hm, semua karena Dona! Dona adalah perempuan pertamaku dalam arti pertama untuk segalanya. Perempuan yang pertama kucintai, pertama membangkitkan gairahku, pertama menguasai keseluruhan hidupku, pertama menolak dan meludahiku, pertama mengecewakanku, pertama dan pertama yang masih banyak lagi. Dia adalah pengalaman pertamaku pula dengan petualangan-petualanganku, karena dialah yang akhirnya membukakan penjara atas setan-setan dalam diriku. Aku mengenalnya dari sebuah pertemuan yang tak disengaja di sebuah halte yang kosong. Saat itu hujan dan lampu merkuri yang langsung menembak tubuhnya dari tempat dia berdiri benar-benar langsung menggerakkan mulutku untuk menyapa dan berkenalan. Setiap kata-kataku yang halus dan sopan sepertinya membuat hatinya nyaman dan dia akhirnya meladeniku dengan obrolan-obrolan yang makin panjang yang berakhir dengan saling bertukar alamat dan nomor telepon. Hmm, Dona adalah kegagalan yang sempurna dan sebenarnya aku tidak ingin mengingatnya lagi, tetapi pengalaman pertamaku bersamanya membuatku merasakan sebuah sensasi yang sangat ingin kulakukan terus menerus. Tepat sebulan setelah kami berkenalan, aku langsung menyatakan cintaku padanya di kamar kosnya yang sederhana. "Sepertinya kau tidak serius," katanya sambil tertawa memperlihatkan gerakan bibir indahnya yang merah merekah seperti kembang mawar di pagi hari, tetapi di mataku terasa seperti sebuah ejekan. "Aku serius," kataku berkeras. Dimulai hanya dari itu, kemudian terjadi pertengkaran antara kami karena kengototanku dan kata-kata lanjutan darinya yang entah kenapa benar-benar menyinggung harga diriku dan membuatku gelap mata. Tepat setalah dia mengata-ngataiku sebagai laki-laki yang tak tahu diri, datang dari antah berantah dan membosankan, aku menamparnya. Dia membalas dengan meludahi mukaku dan aku menjawabnya lagi dengan menghempaskan tubuhnya ke dinding sekuat tenaga. Saat dia masih tergeletak di lantai sambil merintih dan seperti hilang kesadaran sekejap, mataku menangkap sesuatu si atas meja berkaki pendek  yang ada dalam jangkauanku. Senar gitar yang masih baru, masih berada dalam bungkusnya dan entah kenapa aku telah meraihnya dan mengeluarkan gulungan senar itu dari dalamnya, merentangkannya dan melingkarkannya di lehernya yang jenjang dan tidak tertutup itu. Saat itu sepertinya semua gelap di mataku. Perasaan tidak terima atas penolakannya yang dibumbui dengan kata-kata penghinaan yang menyakitkan telah membuat emosiku memuncak. Aku tidak perduli lagi dengan resikonya, yang aku tahu aku hanya ingin menghabisinya. Tuhan mungkin menolongku karena rumah kosnya yang hanya dihuni tiga orang termasuk Dona pun sedang sepi. Lagipula, tidak akan ada yang mengenalku karena aku pun tidak pernah memperkenalkan diri kepada mereka. Kepala Dona tertarik ke atas saat jeratan senar gitar yang masing-masing ujungnya ku belitkan pada kedua tanganku kuperketat. Tangannya menggapai-gapai dari posisi merangkaknya mencoba menggapaiku yang mengunci punggungnya dengan berat tubuh dan jepitan kedua lututku.Tidak ada suara jelas bentuk yang keluar dari mulutnya yang terbuka lebar dengan lidah menjulur keluar itu, hanya erangan yang putus asa dan pasrah yang semakin lama semakin menghilang seiring tubuhnya yang akhirnya rebah telungkup di bawahku. Beberapa menit itu berlangsung dan aku tidak hendak melepaskannya sampai yakin benar bahwa tubuh yang hanya berbalut baju tidur itu benar-benar diam. Saat akhirnya kulepaskan jerat itu, dengan sedikit gemetar aku membereskan dengan menggulung senar gitar nomer lima itu dan memasukkannya ke dalam kantong celanaku. Perasaan takjub dan takut melandaku sejenak, tapi setan memang benar-benar menancapkan kukunya atasku. Dalam ketakutan dan rasa yang tak jelas itu, aku justru seperti merasakan sensasi yang luar biasa, apalagi ketika melihat tubuhnya yang telentang dan tanpa daya. Mati. Aku belum pernah menikmati memandangi tubuh yang kucintai dengan napsuku itu sebebas ini. Timbul perasaan yang aneh dan liar. Sesuatu yang mendesak dari dalam otak dan meningkatkan gairahku. Entah apa, tapi aku tidak berniat menafikannya. Setelah kemudian menutup pintu kamar yang memang sedari tadi terbuka, aku menghampiri mayatnya yang masih hangat itu dan dengan kasar melepaskan seluruh baju yang dikenakannya dan menelentangkannya. Keindahan yang sempurna memanjakan mataku. Tubuh mati yang indah dengan bentuk yang sempurna seperti bidadari-bidadari yang kulihat pada mural-mural di tembok sebuah rumah di kampung halamanku yang menceritakan  dongeng Jaka Tarub dan tujuh bidadari itu masih mampu membangkitkan gairahku. Tanpa perasaan, mungkin dengan pertolongan setan dan iblis dari neraka yang mengeraskan hatiku, aku melampiaskan hasratku saat itu juga. Tidak lama memang, tapi apa yang kurasakan adalah kenikmatan yang luar biasa. Bagaimana tubuh yang diam itu justru membuatku semakin bergairah dan merasa menjadi laki-laki yang paling hebat di seluruh dunia. Aku tidak berpikir tentang segala kemungkinan setelah itu, bagaimana jika nanti polisi melacakku atau jika cairan yang kutumpahkan di kewanitaannya itu akan menggiring polisi pada keberadaanku, toh sampai saat ini, aku masih bebas berkeliaran dan mendapatkan mangsaku. Tapi sejak aksi pertamaku itu, aku makin berhati-hati. Dona adalah sebuah ketidak sengajaan di mana proses perkenalan sampai kepada kematiannya benar-benar tidak menyisakan celah untuk mengungkapkan keberadaanku. Sebuah ketidak sengajaan yang akhirnya kujadikan sebagai modusku sendiri, tentu saja begitu juga dengan senar gitar nomer limaku ini. Aku menghembuskan napasku dan terkekeh sendiri. Kedua tungkaiku kuselonjorkan antara dua jok di depanku. Mengingat mereka memang benar-benar menyenangkan hatiku. Apalagi untuk mengusir kejenuhan menunggu Dyah Ayu. Ingatanku melayang lagi. Jaenab pun sama. Guru mengaji itu kusergap tanpa sempat menyadari apapun setelah pohon besar yang kugunakan untuk bersembunyi telah dilewatinya. Kerudung yang menutupi lehernya itu tetap tidak membuat jeratanku menjadi berkurang kekuatannya, malah akan membuatnya makin cantik setelah menjadi mayat karena bekas yang ditimbulkan oleh senar gitar nomer limaku tidak akan menimbulkan luka yang mengiris lehernya. Seperti Dona, dia takluk hanya beberapa menit setelah aku berhasil mendapatkan lehernya. Dengan tenang, kupondong tubuh matinya itu menuju gerumbul pepohonan bambu yang ada tidak jauh dari sana. Cahaya rembulan dan suara air terjun menambah syahdu malam jahanam itu saat kemudian kutelanjangi tubuh diamnya dan melaksanakan hasratku. Aku terkekeh lagi. Kini segala konsentrasiku kupusatkan pada Dyah Ayu dan senar gitar nomer lima di tanganku. ***** Dyah Ayu berlari menyeberangi jalan, menghampiri mobil ini dan langsung membuka pintu depan sebelah kiri sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah karena gerimis turun. Setelah duduk, dia membanting pintu mobil dengan keras, cukup keras untuk menggoyang mobil sehingga tubuh yang bersandar di jok belakang kemudi dengan kepala tertekuk ke belakang melewati kepala jok terkulai, ambruk ke kiri. Dyah Ayu terpekik geli sambil memegangi kepala suaminya, menyangka suaminya tengah bermain-main dengannya. Maka sebelum dia sadar akan apa yang telah terjadi, bahwa aku telah menyelinap ke dalam mobil itu saat suaminya yang ceroboh itu meninggalkan mobil ini dalam keadaan tidak terkunci sehingga aku bisa dengan leluasa bersembunyi di jok belakang dan kemudian melumpuhkannya dengan sebuah jeratan di lehernya saat dia masuk lagi ke dalam mobil untuk menunggu, aku bergerak cepat. Kuregangkan senar gitar nomer 5-ku dan menyambar lehernya pula. Dyah Ayu tak sempat berteriak, bahkan untuk sekedar mengenali mayat suaminya. Hanya tubuhnya saja yang meronta-ronta dan kedua kakinya yang menendang-nendang tak beraturan, hampir sama dengan suaminya saat menjelang ajalnya. Kutarik kencang senar gitar nomer 5 yang menjerat lehernya sehingga kepalanya yang sudah hampir menyerah itu mendekat ke arahku. Terdengar suara tercekik yang indah dari tenggorokannya ditimpali dengan air mata yang becucuran dan ikut membasahi wajahku saat kugesekkan wajahku itu kepadanya dari arah belakang sambil membisikkan pada kupingnya:. "Kita akan bersenang-senang malam ini." Kukecup pipi yang halus itu dengan lembut sebelum beberapa menit kemudian dia tak mampu berontak lagi. Mayatnya terkulai menimpa mayat suaminya. Nafsuku memuncak. Tamat Jakarta-Cianjur-Kuningan, 6 April 2011 Penyumbang tulisan: Mamar, Herlya An-Nisa, Si Ganteng gambar dari: sini, ah..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline