Kedua lelaki itu berdiri berhadap-hadapan. Pandangan mata mereka beradu seakan saling membenturkan kekuatan dan mengukur kejantanan masing-masing. Di dekat mereka, tiga pasang mata menyaksikan dalam lingkaran perasaan mereka sendiri-sendiri.
Dhani dan Arif akan mencoba kejantanan mereka dengan saling menjatuhkan, menyelesaikan apa yang membara dan menjadi dendam di antara mereka.
"Aku akan memulai," kata Dhani sambil memasang kuda-kuda.
"Itu yang aku tunggu sedari tadi," sahut Arif dingin dan setapak demi setapak menggeser kakinya membentuk kuda-kuda yang kokoh sesuai yang diingininya.
"Jangan berkelahi, aku mohon..semua masih bisa dibicarakan," ujar seseorang dari pinggir bakal arena pertarungan itu.
Reni, satu-satunya perempuan yang berdiri di sana menyaksikan dua sahabat itu akan saling berbenturan, untuk terakhir kalinya mencoba memperingatkan mereka. Di kedua sisinya, Mamar dan Naim pun mempunya pikiran yang sama, tapi mereka memilih untuk diam karena jiwa lelaki yang terbakar amarah hanya akan melihat dari sudut pandang mereka sendiri, apalagi jika menyangkut perempuan, harga diri akan melambung melebihi awan.
"Tenanglah, Ren, semua akan baik-baik saja. Aku dan Naim akan berusaha untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi," kata Mamar sambil menepuk punggung Reni dengan lembut, mencoba membuat perempuan cantik itu tenang.
"Ya," Naim menambahi, "sekarang biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka mau. Biarkan mereka merasakan dulu apa namanya kejantanan yang selalu menghantui jiwa-jiwa para lelaki. Kejantanan yang diutamakan melebihi akal sehat dan pemikiran yang normal."
Reni hanya terdiam, tapi air matanya mulai turun dari kedua matanya yang panas. Angin membantu mendramatisir suasana itu dengan berhembus pelan, mengusik dedaunan pepohonan mirah yang menjulang di sekitar arena itu.
Dhani memulai serangannya. Tangan kanannya yang terkepal terayun ke muka dengan gerakan martil sementara lengan kirinya menyilang di depan dada sebagai pertahanan awalnya mencegah serangan di bagian tubuhnya yang terbuka. Arif surut beberapa tapak ke belakang dan secepat kilat mengangkat kaki kirinya dalam gerakan tendangan menyamping dan menyasar kepala dan muka bagian kanan Dhani. Dhani mengeluarkan seruan kaget dan buru-buru menundukkan kepalanya dalam gerakan "kura-kura sembunyi kepala" dan merendahkan tubuhnya sekaligus memberi serangan lanjutan pada tumpuan kaki kanan Arif yang tak terlindungi dengan menjejakkan telapak kaki kanannya pada lutut Arif. Kali ini giliran Arif yang berseru kaget dengan serangan yang tak terduga itu. Dengan kecepatan yang seperti burung Srigunting dijejakkannya tumpuan kaki kanannya itu dan meloncat ke depan melewati tubuh Dhani yang merendah dan mendarat di tanah dengan gerakan "harimau bergulung di pasir".