Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK didirikan dengan fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Namun, sangat disayangkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir fungsi utama OJK dalam hal pengawasan belum sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal. Hal tersebut dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh Citiasia bersama Majalah Infobank terhadap stakeholder OJK pada November-Desember 2019.
Sebanyak 182 responden yang berasal dari 68 praktisi industri keuangan serta 114 institusi jasa keuangan, baik perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa pembiayaan khusus diketahui bahwa responden menilai bahwa kinerja pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK tidak maksimal.
Indeks kinerja OJK secara keseluruhan hanya mencapai 59,3 persen. Lembaga pembiayaan memberi indeks persepsi kinerja OJK terendah, yaitu 51,9 persen, disusul dengan sektor perbankan (55 persen), lembaga jasa keuangan khusus (63,3 persen), dan sektor asuransi (65,2 persen).
Rendahnya kepuasan praktisi industri keuangan terhadap kinerja OJK juga sejalan dengan masih banyak ditemukannya permasalahan pada laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas efektivitas pengawasan kegiatan OJK di sektor perbankan, perasuransian, dan pasar modal dalam kurun waktu 2016-2021.
Pada tulisan ini, kami hendak menilik rendahnya indeks persepsi kinerja OJK melalui analisis terhadap 3 (tiga) aspek, yaitu aspek regulasi, aspek anggaran, dan aspek sumber daya manusia.
Tiga aspek yang menjadi permasalahan utama fungsi pengawasan oleh OJK adalah sebagai berikut:
Regulasi
Pertama, temuan BPK dalam LHP pengawasan sektor pasar modal menyatakan bahwa tidak semua LHP Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal (DPKM) mencantumkan faktor-faktor atau pertimbangan yang dapat memberatkan atau meringankan pengenaan sanksi serta adanya perbedaan pengenaan sanksi dalam LHP DPKM terhadap pelanggaran yang sama pada LHP yang tidak mencantumkan pertimbangan memberatkan atau meringankan.
Menurut BPK hal ini disebabkan karena OJK belum menetapkan pedoman quality assurance dan quality control dalam proses pemeriksaan oleh DPKM dengan adanya review berjenjang sampai dengan Deputi Komisioner.
Kedua, temuan BPK dalam LHP pengawasan asuransi menyatakan bahwa peraturan turunan yang diamanatkan UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian belum seluruhnya terbentuk, yaitu: (1) OJK belum mempunyai ketentuan mengenai penyelenggaraan program penjaminan polis, (2) PP tentang badan hukum usaha bersama dan (3) PP yang mengatur kriteria badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing, serta kepemilikan warga negara asing dalam perusahaan perasuransian.