Lihat ke Halaman Asli

Kembalikan Tradisi Ramadan Seperti Dulu

Diperbarui: 26 Mei 2017   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Suci Ramadhan yang juga menjadi hari pertama umat Muslim menjalakan ibadah Puasa akan jatuh pada tanggal 27 Mei 2017. Sebelum menulis lebih jauh, izinkan saya untuk menyampaikan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa bagi Saudara-saudara saya umat Muslim 1438 Hijriyah. Latar belakang saya menulis artikel ini karena saya ikut prihatin atas berbagai peristiwa yang ingin memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa kita akhir-akhir ini. Akibatnya, bukan hanya intoleransi di antara kita, tetapi juga ada rasa saling tidak percaya dan saling menghujat di antara umat beragama. Peristiwa Bom di Kampung Melayu dan dugaan peristiwa pembakaran Kitab Suci di Jayapura semakin menambah semakin menambah tantangan kita untuk menciptakan damai di bangsa ini.

Karena itu, saya mengambil judul dari tulisan saya: "Kembalikan Tradisi Puasa Seperti Dulu". Saya ingin menjelaskan kata "seperti dulu". Harus diakui bahwa sejak kita menjalani masa Reformasi, semakin banyak pertikaian di antara umat beragama. Bukan berarti bahwa di masa sebelum Reformasi tidak ada konflik, tapi selama kurang lebih 19 tahun masa reformasi sudah puluhan kasus konflik umat beragama yang terjadi. Sebut saja kasus Ambon dan pembakaran tempat ibadah di Tolikara. Kata "seperti dulu" juga merujuk kepada kenangan saya bersama tetangga yang Muslim yang sangat terjalin dengan baik tahun 90 an. Lalu kenangan indah apa yang saya alami dulu ketika melihat tetangga Muslim yang menjalani ibadah Puasa sehingga membuat saya ingin agar kenangan itu dikembalikan? Setidaknya ada 3 kenangan:

Pertama. Dahulu, sehabis Sahur kami semua ( baik Muslim maupun Non Muslim) bersama-sama ikut berolahraga di pusat kota Jayapura. Olahraga yang kami mainkan adalah Sepakbola. Lapangan kami hanyalah jalan beraspal di pusat kota, kami bermain bersama dengan teman-teman yang berasal dari kompleks lain, teman-teman yang berpuasa akan membangunkan kami yang tidak berpuasa untuk ikut bersama bermain sepakbola, bahkan kami yang non Muslim akan tinggal di rumah teman yang Muslim agar mudah untuk bangun. Kenangan itu tidak akan pernah kami lupakan dan menjadi salah satu tolak ukur kami sekarang akan hidup dalam damai.

Kedua. Dahulu ketika akan berbuka Puasa, kami yang non Muslim sering menikmati hidangan berbuka. Sebenarnya hal ini mungkin masih dijalani sampai sekarang. Namun sekarang lebih kepada formalitas untuk mendapat kehidupan yang harmonis. Dahulu, hal itu dilakukan secara spontanitas karena memang lahir dari rasa kekeluargaan di antara kami.

Ketiga. Pada saat Lebaran atau Idul Fitri, tetangga kami yang Muslim pasti akan membagi makanan kepada kami yang Non Muslim. Itu sudah menjadi tradisi kami sejak dahulu. Meskipun sudah membagikan makanan, kami yang non Muslim tetap akan bersilahturahmi ke tetangga yang Muslim untuk saling memaafkan. Percakapan yang baik dan terkadang diselingi humor akan selalu menjadi bagian yang pasti dalam silahturahmi itu. 

Sungguh, kenangan yang indah dan tak terlupa. Lalu, siapa dan bagaimana mengembalikan tradisi seperti dulu di masa kini? Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Saya yakin bahwa kenangan itu tidak hanya menjadi kenangan, bila kita membangun sebuah pemahaman bahwa damai itu segalanya bagi kita. Percuma saja kita semakin beriman sebagai umat beragama, namun tidak mampu menciptakan hubungan yang akrab dengan sesama. 

Sekali lagi, Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1438 H kepada saudaraku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline