Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(1989)
---Sapardi Djoko Damono
Di atas adalah puisi Hujan Bulan Juni, sebuah puisi legendaris karya Sastrawan dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia Sapardi Djoko Damono yang wafat pada 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun. Sejak dibuat pada tahun 1989, puisi ini terus beredar dan menjadi populer, bertransformasi menjadi novel dan ditampilkan di layar lebar dengan medium film.
Sebagai penikmat sastra amatiran, saya pun ikut membaca puisi Hujan Bulan Juni ini, merekamnya dan ditayangkan di kanal youtube arisheruutomo.
Membaca baim-baim puisi Hujan Bulan Juni, saya mendapat pesan bahwa Sapardi ingin menegaskan bahwa bulan Juni adalah bulan yang paling tabah dibanding bulan-bulan lainnya. Mengapa demikian?
Seperti diberitakan Kompas (15/06/2015), dalam acara peluncuran novel Hujan Bulan Juni di Gramedia Central Park, Jakarta Barat, Minggu (14/6/2015), Sapardi menyebutkan alasannya "Kalau saya tulis tentang hujan pada bulan Desember, Desember kan memang (musim) hujan. Kalau nulisnya hujan pada Desember, nanti enggak ada yang bertanya".
Sapardi pun kemudian menambahkan "Pada 1989, ketika ia menulis puisi yang menjadi hit tersebut, hujan memang tak pernah jatuh pada bulan Juni". Jadi kalau ada yang bertanya "Adakah yang lebih tabah dari hujan pada bulan Juni?", maka jawabannya ada pada bait puisi Hujan Bulan Juni yang berbunyi, "Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu."