Lihat ke Halaman Asli

Aris Heru Utomo

TERVERIFIKASI

Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Meneladani Nasionalisme KH Hasyim Asyari

Diperbarui: 31 Oktober 2020   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dialog KH Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim dalam film Sang Kiai / fioro dari film Sang Kiai oleh penulis

Mengikuti himbauan pemerintah untuk menghindari perjalanan di libur panjang dan memelihara kedisiplinan terhadap protokol kesehatan Covid-19, saya pun menghabiskan sebagian besar waktu libur panjang Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H pada 23 Oktober - 1 November 2020 di rumah saja dengan antara lain berkumpul bersama keluarga, membaca buku dan menonton film di saluran televisi digital, salah satunya adalah film "Hadratussyaikh Sang Kiai".

Hadratussyaikh Sang Kiai atau Sang Kiai adalah film drama Indonesia produksi Rapi Films dengan sutradara Rako Prijanto dan dirilis pada tahun 2013. Film Sang Kiai merupakan Film Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2013 dan mendapatkan penghargaan untuk kategori Pemeran Pendukung Terbaik bagi Adipati Dolken yang berperan sebagai Harun.

Meski dirilis tahun 2013 atau tujuh tahun lalu, harus diakui bahwa baru kali ini saya menontonnya. Dua alasan saya memilih film ini untuk ditonton adalah statusnya sebagai film terbaik dalam FFI 2013 dan temanya yang sejalan dengan semangat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 29 Oktober 2020 dan masih berdekatan dengan Hari Santri 22 Oktober 2020. Bukankah memperingati Maulid Nabi berarti mempraktekkan segala ajaran Islam dan mengikuti tauladan Nabi Muhammad SAW melalui ulama. Ulama adalah rujukan bagi umat Islam sebagai tempat belajar dan bertanya tentang kehidupan di dunia, khususnya persoalan agama. Ulama dinilai sebagai orang yang mumpuni untuk menjawab persoalan-persoalan menyangkut agama.

Film Sang Kiai mengangkat kisah perjuangan ulama dan santri pada awal tahun 1940-an menghadapi penjajahan Jepang yang dipimpin salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dari Jombang, Jawa Timur yakni Hadratussyaikh K.H Hasyim Asyari (14 Februari 1871 -  25 Juli 1947). K.H Hasyim Asyari adalah pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur sekaligus merupakan salah seorang ulama yang paling dihormati dan berpengaruh di tanah Jawa yang menjadi tokoh sentral dalam film ini.

Film Sang Kiai ini dibintangi antara lain oleh Ikranegara sebagai K.H Hasyim Asyari, Christine Hakim sebagai Masrurah/Nyai Kapu, Agus Kuncoro sebagai K.H Wahid Hasyim (putra pertama K.H Hasyim Asyari dan ayahanda Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), dan Adipati Dolken sebagai Harun.

Adegan di film Sang Kiai dibuka dengan suasana penerimaan calon santri di pesantren Tebuireng yang diasuh Hadratussyaikh K.H Hasyim Asyari dan kedekatan Kiai dengan salah seorang santrinya yang bernama Harun. Harun digambarkan sangat dekat dengan Sang Kiai dan sering diberikan nasihat, termasuk menjodohkan Harun dengan seorang wanita dan menjadi wali nikahnya.

Dalam sejarah resmi, jarang orang yang tahu nama Harun begitu kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PNNU) K.H Said Agil Siroj dalam "Webinar Nasionalisme Santri, Ketahanan Pancasila dan Indonesia yang Kuat" yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan PBNU dalam rangka memperingati Hari Santri ke-5 tanggal 23 Oktober 2020.

"(Harunlah) yang memasang bom di mobil Brigjen Mallaby bukan tentara,  Harun adalah santri Tebuireng yang kemudian ikut gugur," begitu kata K.H Said Agil Siroj.  

Dari adegan suasana penerimaan santri, adegan kemudian bergulir ke suasana perjuangan Sang Kiai melawan penjajah Jepang. Sang Kiai ditangkap Jepang dan ditahan dan disiksa selama sebulan di tahanan di Mojokerto karena menentang keinginan penjajah Jepang dan menganggap peraturan yang dikeluarkan penjajah Jepang melanggar akidah Islam.

Saat Sang Kiai ditahan, berbagai upaya dilakukan untuk membebaskan Sang Kiai, seperti melalui unjuk rasa yang dipimpin Harun maupun melalui pendekatan dan diplomasi yang dipimpin putra Sang Kiai, K.H Wahid Hasyim.

Sebagai sosok ulama yang luas ilmunya dan memiliki kadar ketakwaan yang tinggi, Sang Kiai tentunya sangat berhati-hati dalam bersikap dan menyusun strategi dan arah kebijakan menghadapi penjajah Jepang dengan selalu mendasarkan segala tindakannya pada ajaran agama.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline