Guyup rukun dan gotong royong masih tetap melekat erat dalam kehidupan masyarakat di desa-desa. Termasuk, masyarakat Desa Gumirih di Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur yang guyup rukun bersama mencegah penyebaran Coronaviruse Disease (Covid-19). Seperti diberitakan Kompas (14/04) di desa ini, warga sukarela meminjamkan rumah kedua mereka sebagai tempat karantina bagi perantau. Warga yang tak memberikan tempat pun bergotong royong menyediakan kebutuhan pokok.
Kesediaan warga desa Gumirih untuk meminjamkan rumahnya tersebut sekaligus menjawab ajakan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo kepada masyarakat untuk bergotong-royong menghadapi pandemi virus corona.
Doni meminta masyarakat di tingkat kelurahan ataupun desa untuk menyumbangkan rumahnya agar dijadikan tempat karantina menyusul banyaknya masyarakat yang sudah kembali ke kampung halamannya, meski sudah diimbau untuk tidak mudik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
"Saya selaku kepala gugus tugas berharap kepada masyarakat di tingkat Kelurahan dan desa, hendaknya bisa menyiapkan beberapa rumah warga yang secara sukarela berkenan menyumbangkan atau meminjamkan rumahnya tersebut, untuk menjadi tempat isolasi mandiri atau karantina rumah, bagi saudara-saudara kita yang kembali dari luar daerah atau luar negeri," ujar Doni dalam video konferensi pers di akhir Maret 2020 (30/3/2020).
Terlepas dari ajakan Doni, sesungguhnya semangat kemanusiaan dan solidaritas sosial masyarakat Indonesia untuk saling tolong menolong dan gotong royong masih sangat kuat. Semangat gotong royong masyarakat tampak jelas saat penyebaran Covid- 19 semakin meluas di tanah air dan berdampak luas pada jumlah korban positif Covid-19 ataupun wafat yang terus bertambah setiap harinya. Pemerintah tidak dapat menyelesaikan sendiri penanganan Covid-19 tanpa kesadaran masyarakat dan partisipasi atau gotong royong masyarakat.
Karenanya, selain pemberitaan Kompas mengenai desa Gumirih, hampir setiap hari kita mendengar kabar kegiatan warga untuk bahu membahu dan memberikan pertolongan kepada mereka yang terdampak corona.
Masyarakat secara sukarela melakukan penggalangan dana untuk membantu pembelian perangkat pelindung diri bagi tenaga medis, menyiapkan sabun pencuci tangan di berbagai tempat, memberikan makan gratis kepada warga yang terdampak Covid-19 dan menyediakan masker pelindung muka, hingga menyediakan rumah karantina bagi perantau yang mudik untuk mengisolasi diri seperti yang dilakukan warga di Banyuwangi.
Menanggapi menguatnya semangat gotong royong di masyarakat, khususnya di Banyuwangi, Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus Banyuwangi, yang juga antropolog Andang Subahariyanto, melihat bahwa sikap gotong royong yang ditunjukkan masyarakat Banyuwangi sebenarnya tidak terlepas dari kearifan lokal yang merupakan tradisi turun temurun penduduk asli Banyuwangi yaitu suku Osing.
Masyarakat suku Osing memiliki tradisi yang terus dipertahankan dalam kehidupan keseharian, salah satunya adalah melabot atau ngersaya. Melabot merupakan kegiatan gotong royong antar warga saat hajatan dengan saling bantu membantu menyiapkan konsumsi atau saat ada warga pindahan rumah dengan mengangkat atau memindahkan kayu bangunan.
Suku Osing atau suku Using sendiri, menurut cerita masyarakat, merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambangan atau "Wong Blambangan", yang mengasingkan diri pada zaman Majapahit. Nama Osing, yang berarti tidak untuk menunjukkan sikap warga yang menolak pengaruh dari luar pada zaman dulu, diberikan oleh penduduk pendatang yang menetap di daerah itu pada abad ke-19. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Osing yang merupakan turunan dari bahasa Jawa Kuno.
Pada awalnya, masyarakat Osing mayoritas beragama Hindu dan Budha. Namun, setelah berkembangnya kerajaan Islam, masyarakat Osing banyak yang beralih memeluk agama Islam.