Lihat ke Halaman Asli

Aris Heru Utomo

TERVERIFIKASI

Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Indonesia di Tengah Kerja Sama Jalur Sutra Modern

Diperbarui: 14 Mei 2017   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 14-15 Mei 2017 Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) berada di Beijing untuk menghadiri Forum Sabuk dan Jalan untuk Kerja Sama Internasional (Belt and Road Forum for International cooperation). Selain Jokowi, hadir pula 28 kepala negara/pemerintahan lainnya dan perwakilan dari sekitar 130 negara. Selain itu hadir Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterrres, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde. Forum ini merupakan konperensi tingkat tinggi (KTT) pertama yang diselenggarakan Pemerintah Tiongkok untuk menindaklanjuti konsep kerja sama ekonomi antar negara yang diinisiasi Tiongkok yang awalnya bernama “One Belt One Road(Satu Sabuk dan Satu Jalur)” atau kerja sama antar negara-negara yang dilintasi rute perdagangan jalur sutra di masa lalu.

Bagi Jokowi, kunjungan ke Beijing kali ini merupakan yang ketiga dalam 2,5 tahun terakhir, setelah kunjungan pada 2014 (dalam rangka menghadiri KTT APEC) dan pada 2015 (dalam rangka kunjungan bilateral). Berbeda dengan dua kunjungan sebelumnya, kehadiran Jokowi kali ini memiliki makna tersendiri. Kehadirannya mestinya bukan sekedar untuk menjajaki peluang kerja sama pembangunan infrastruktur seperti yang dikatakannya kepada media, namun lebih jauh dari itu untuk menegaskan mengenai pentingnya kerja sama global guna menghadirkan masa depan yang lebih aman. Jokowi juga mesti mengingatkan bahwa peran dominan Tiongkok dalam kerja sama tersebut jangan sampai menimbulkan ketergantungan yang berpotensi menjadi gangguan serius pada banyak negara dan memunculkan kerawanan bagi situasi pasar internasional serta perubahan dan krisis geopolitik.

Dalam konteks kerja sama dengan Indonesia, sejalan dengan konsep poros maritim yang menjadi agenda utama Nawacita Presiden Joko Widodo, maka Indonesia dapat mempergunakan kesempatan pertemuan di Beijing untuk mengkaji ulang berbagai proyek kerja sama yang telah dilakukan, jangan sampai kerja sama tersebut ternyata mendominasi pemilikan infrastruktur maritim Indonesia.

Konsep Jalur Sutra Modern   

Konsep “Satu Sabuk dan Satu Jalur atau Jalur Sutra Baru yang menjadi dasar “Inisiatif Sabuk dan Jalan” pertama kali diperkenalkan oleh Xi Jinping saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Kazakhstan dan Indonesia pada September dan Oktober 2013. Sesuai namanya, “Satu Sabuk Satu Jalur”, konsep ini membagi kerja sama ekonomi ke dalam dua komponen yaitu jalan darat (diusulkan oleh Xi Jinping saat berkunjung ke Kazakhstan dengan nama Sabuk Ekonomi Jalur Sutera) dan jalur laut (diusulkan Xi Jinping saat berkunjung ke Indonesia dengan nama Jalur Sutra Maritim Abad ke-21).

Pada 2015 Dewan Negara Tiongkok menyetujui konsep “Satu Sabuk dan Satu Jalan” dan memasukkannya ke dalam “Rencana Aksi Jalur Sutra Baru 2015”. Dalam rencana aksi tersebut direncanakan akan dibangun konektivitas melalui jalan darat dan jalur laut. Melalui jalan darat akan dibangun jalan yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropa melalui Asia Tengah, Tiongkok dengan Teluk Persia dan Mediterania melalui Asia Barat, Tiongkok dengan Lautan Hindia melalui Asia Selatan. Sedangkan melalui jalur laut akan dibangun konektivitas antara Tiongkok melalui Laut Tiongkok Selatan ke Lautan Hindia dan Pasifik Selatan. Sejauh ini sudah terdapat sekitar 100 negara yang menyatakan ketertarikannya untuk berpartisipasi dalam rencana aksi tersebut. 

Untuk merealisasikan Rencana Aksi Jalur Sutra Baru 2015, Tiongkok menginvestasikan dana milyaran dollar AS untuk membangun proyek-proyek infrastruktur yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara yang berada di jalur sutra. Sebagai contoh, sebanyak US$ 40 milyar diinvestasikan melalui Silk Road Fund dan sebesar US$ 50 milyar untuk skema pendanaan melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang didirikan atas inisiatif Tiongkok pada tahun 2014.

Selain itu Tiongkok juga menggunakan kerangka kerja sama Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization) dan bantuan bilateral langsung untuk mendanai proyek-proyek pembangunan infrastruktur, antara lain dengan Hungaria, Indonesia, Iran, Laos, Mongolia, Rusia, Tajikistan, Thailand dan Turki. Sejumlah proyek sedang dibicarakan dan dikerjakan, antara lain proyek pembangunan jalur kereta yang menghubungkan kawasan timur Tiongkok dan Iran hingga Eropa, jalur kereta baru yang menghubungkan Tiongkok dengan Laos dan Thailand serta pembangunan proyek kereta cepat di Indonesia.

Memperhatikan langkah Tiongkok, terlihat kesungguhan Tiongkok untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan kawasan melalui pembangunan konektivitas jalur darat dan laut. Tidak ada yang keliru dengan langkah Tiongkok tersebut, namun meningkatnya agresifitas Tiongkok di kawasan yang didukung dengan kekuatan ekonomi dan militernya,  memunculkan dugaan  bahwa Tiongkok ingin segera mewujudkan ambisinya memainkan peran penting dalam perekonomian global dan menjadi negara hegemon. Tiongkok dipandang ingin menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan permintaan proyek-proyek besar bagi perusahaan-perusahaan konstruksi di dalam negerinya dan menjadikan negara-negara penerima bantuan sebagai pasar baru, saluran bagi kelebihan kapasitas produksi barang dan jasa yang terjadi di Tiongkok.

Menjaga Kepentingan Indonesia

Bukan tanpa sebab Indonesia dipilih pertama kali oleh Xi Jinping sebagai tempat untuk melontarkan gagasan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dengan posisi sangat strategis secara geopolitik dan geoekonomi. Posisi geografis Indonesia yang dilalui Selat Malaka, Sunda dan Lombok menjadi jalur utama perdagangan dan keamanan pasokan energi Tiongkok dari arah Timur Tengah dan sebaliknya. Konektivitas yang lebih besar ini dilihat Tiongkok dan karenanya Indonesia dipandang sebagai roda penggerak penting dalam integrasi ekonomi Tiongkok dengan Asia Tenggara. Terlebih, dengan penduduk sekitar 247 juta orang, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk-produk Tiongkok. Dengan semua potensi ini, tidak mengherankan jika Tiongkok mengharapkan dukungan dan partisipasi Indonesia dalam pembangunan Jalur Sutra Modern Abad k-21.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline