Lihat ke Halaman Asli

Aris Heru Utomo

TERVERIFIKASI

Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Tarik Ulur Pesan Bergambar di Bungkus Rokok

Diperbarui: 31 Mei 2016   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan bergambar di bungkus rokok / foto Aris Heru Utomo

Sebuah peringatan bergambar orang terserang kanker tenggorokan dan tulisan "PERINGATAN MEROKOK SEBABKAN KANKER TENGGOROKAN" tertempel di bungkus rokok. Tujuannya tentu saja untuk mengingatkan secara visual kepada perokok mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.

Hari ini, 31 Mei, masyarakat internasional memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Peringatan dilakukan untuk menyerukan para perokok agar berpuasa tidak merokok (mengisap tembakau) selama 24 jam serentak di seluruh dunia. Peringatan ini dicetuskan oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah memperhatikan kebiasaan merokok yang terus meningkat, bahkan di kalangan muda, dan menyebabkan kematian sebanyak 5,4 juta jiwa setiap tahunnya.

Ide untuk mengendalikan konsumsi tembakau ini disambut baik oleh sebagian besar masyarakat dunia dan menuai reaksi baik berupa dukungan dari pemerintah, aktivis kesehatan, dan organisasi kesehatan masyarakat, ataupun tentangan dari para perokok, petani tembakau, dan industri rokok. Berbagai cara pun dilakukan untuk mengingatkan konsumen mengenai bahaya tembakau bagi kesehatan, salah satu caranya menampilkan peringatan kesehatan di setiap bungkus rokok.

Berawal dari peringatan sederhana berupa tulisan “PERINGATAN PEMERINTAH: MEROKOK DAPAT MERUGIKAN KESEHATAN”, hingga tulisan yang lebih rinci “MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”, pada akhirnya peringatan bahaya merokok pun dilakukan lewat gambar. Peringatan bergambar pada rokok dibuat karena ternyata peringatan secara visual dinilai lebih efektif mencegah seseorang merokok dari pada peringatan bentuk tulisan.

Menurut Adhitya Ramadhan dalam tulisannya di Kompas 31 Mei 2016 “Hari Tanpa Sembakau Sedunia: Pesan Kesehatan dalam Sepotong Gambar”, seluruh negara anggota ASEAN telah menerapkan peringatan bergambar bahaya merokok pada bungkus rokok. Thailand memiliki peringatan kemasan bergambar terbesar pada kemasan rokok yakn 85 persen dari total permukaan bungkus rokok. Disusul Brunei (75 persen), Laos (75 persen diberlakukan Oktober 2016), Myanmar (75 persen diberlakukan September 2016), Malaysia dan Kamboja (55 persen), Singapura, Filipina dan Vietnam (50 persen), dan terakhir Indonesia (40 persen).

Kenapa persentase penerapan gambar bahaya merokok di Indonesia paling kecil dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya? Apakah terdapat keengganan dari Indonesia untuk menerapkan peringatan bergambar di bungkus rokok? Padahal menurut Ketua Bidang Khusus Pengendalian Tembakau Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo “Semakin besar gambarnya, kian besar menunjukkan kebenaran. Gambar kecil atau bahkan menghilangkan gambar artinya menyembunyikan kebenaran”.

Usut punya usut, seperti dituliskan oleh Adhitya dalam artikelnya tersebut, ternyata terdapat perbedaan pandangan antar kementerian-kementerian yang memiliki kewenangan untuk menentukan besaran persentase peringatan bergambar di bungkus rokok. Kementerian Kesehatan ingin ukuran peringatan ukuran peringatan bergambar 50 persen. Kementerian Perindustrian inginnya 30 persen, dan Kementerian Perdagangan tidak menginginkan sama sekali adanya peringatan bergambar di bungkus rokok.

Adanya perbedaan pandangan dalam menentukan besaran persentase peringatan bergambar di kalangan kementerian sepertinya memperlihatkan keanehan. Muncul dugaan bahwa pemerintah tampaknya enggan melindungi warganya dari bahaya rokok. Dugaan lebih jauh, keengganan pemerintah tersebut tidak terlepas lobi dari pengusaha rokok terkait regulasi rokok?

Dugaan bahwa terdapat lobi industri rokok ke para pengambil keputusan di eksekutif dan yudikatif tampaknya bukan hal baru. Seperti dikutip dari artikel “Pro-Kontra Regulasi Rokok di Indonesia” diKompas.com tanggal 1 Februari 2013, adanya lobi industri rokok, baik multinasional maupun nasional, yang memengaruhi kebijakan politik dan regulasi rokok memang bukan isapan jempol. Bahkan menurut cerita, saking kuatnya lobi tersebut, maka seorang Achmad Sujudi, mantan Menkes yang ikut aktif merancang Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) pun sampai gagal berangkat ke markas WHO di Geneva, Swiss, pada tahun 2003 karena dilarang oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Alasan larangan tersebut adalah karena adanya desakan petani tembakau di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah. Akibatnya, kini Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC, yang di antaranya mengatur promosi atau iklan rokok, melarang perokok merokok di tempat umum, dan membatasi konsumsi rokok dengan menaikkan cukai rokok.

Faktor lain yang membuat pemerintah enggan membatasi rokok adalah pandangan bahwa tembakau dan cengkeh memberi kontribusi positif terhadap negara, dan rokok adalah salah satu industri penyuplai terbesar pendapatan negara tiap tahunnya. Berdasarkan data, Indonesia adalah negara peringkat ketiga perokok terbanyak di dunia setelah Tiongkok dan India. Di Indonesia, saat ini ada sekitar 70 juta perokok aktif dan 60-70 persennya adalah pria dewasa. Selain memberikan kontribusi positif ke kas negara, rokok juga menjadi tempat bergantung hidup bagi jutaan orang yang bekerja di industri tersebut.

Kini, pergulatan pro-kontra regulasi tembakau/rokok di Indonesia, termasuk pencantuman peringatan bergambar belum usai. Selama lobi industri rokok masih kuat, maka jalan untuk mencapai 75 persen peringatan bergambar bahaya rokok akan panjang pula dan mungkin tak berujung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline