Pada 20-25 Desember 2015 saya berkesempatan melakukan perjalanan dinas ke Brussel, ibu kota Belgia dan Uni Eropa. Mengingat saya pernah menetap bersama keluarga di Brussel pada tahun 2004-2008, kunjungan kembali ke Brussel tentu saja sangat menyenangkan. Rasanya seperti pulang kampung. Dan karena kunjungan kali ini bertepatan dengan hari Natal, yang tentunya dirayakan masyarakat Belgia yang mayoritas Katholik dan Protestan, saya membayangkan suasana kota akan lebih semarak dibandingkan pada hari-hari biasa.
Ya, seperti lazimnya semarak Natal di kota-kota besar di Eropa yang diwarnai berbagai hiasan, mulai dari pohon Natal, patung sinterklas hingga lampu warna warni, saya pun membayangkan kesemarakan suasana Natal di Brussel tahun 2015. Dan karena Natal jatuh setiap musim dingin, saya juga membayangkan jantung kota Brussels berubah menjadi “Winter Wonderland” seperti tahun-tahun sebelumnya, yang menampilkan pasar magis Natal, berbagai cahaya lampu, aktifitas jalanan di sekitar gedung Bourse (Bursa Efek), Place Sainte Catherine dan Marché aux Poissons (pasar ikan), dan tentu saja kawasan kota tua Grand Place atau Grote Mark.
Kawasan tersebut di atas senantiasa ramai dikunjungi warga setempat dan wisatawan manca negara yang ingin mengunjungi pasar Natal dan melihat-lihat serta menikmati keindahan arsitektur bangunan Eropa klasik buatan abad ke-11. Bangunan dan ruangan di sekitar Grand Place dihiasi pohon Natal yang dipenuhi lampu warna-warni serta ornamen lainnya. Toko-toko, restoran, dan kafe pun tidak mau kalah menyemarakkan suasana Natal dengan menjual merchandise, gastronomi khas Natal dalam berbagai bentuk dan kemasan.
Namun kesemarakan Natal di Brussel tahun ini sepertinya agak sedikit berbeda. Kawasan Grand Place yang biasa disesaki warga dan wisatawan manca negara, terlihat agak sedikit lengang. Pohon Natal besar setinggi sekitar sepuluh meter dengan hiasan lampu warna yang dipasang di tengah-tengah alun-alun Grand Place terlihat tidak terlalu dipadati pengunjung. Meski beberapa orang terlihat tengah berfoto-foto dan ber-selfie ria bersama keluarga atau rekan-rekannya dengan latar belakang gedung dan pohon Natal besar.
Yang justru menarik adalah kehadiran tentara-tentara mengenakan seragam loreng, rompi di dada, baret warna-warni di kepala sesuai asal kesatuan, helm tempur dan pistol di gantung di pinggang serta menggenggam senapan laras panjang. Kehadiran tentara ini melengkapi kehadiran polisi yang juga bersenjata lengkap. Berpasang-pasangan para tentara yang bertugas berpatroli keliling di wilayah penugasan mereka. Sesekali mereka berhenti sejenak dan berbincang satu sama lain, sebelum kemudian berkeliling kembali.
Bagi mereka yang biasa lama tinggal di Brussel, kehadiran tentara siap tempur di tempat-tempat keramaian sepertinya terasa asing. Dengan kondisi keamanan Brussel sebagai ibu kota Uni Eropa dan tempat Markas Besar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang sangat kondusif dan dengan tingkat ancaman keamanannya yang rendah, keberadaan tentara Belgia dalam seragam tempur lengkap hanya dapat dijumpai di barak-barak militer, saat parade ulang tahun kemerdekaan Belgia di bulan Juli atau saat berada dalam misi perdamaian dunia.
Adalah peristiwa pemboman di Stade de France, Paris, tempat laga sepak bola persahabatan antara Perancis dan Jerman dan aksi penembakan di 6 titik lainnya pada Jumat malam 13 November 2015, yang menjadi penyebab Pemerintah Belgia disibukan dengan operasi besar-besaran anti terorisme yang mengguncang ibu kota Perancis itu. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya pelaku serangan mematikan itu yang bertempat tinggal maupun merencanakan operasi teror dari Brussel, salah satunya adalah Salah Abdeslam warga negara Belgia yang ditenggarai sebagai otak utama serangan Paris.
Untuk itu, Pemerintah Belgia selain menerjunkan aparat kepolisian dan tentara untuk terus memburu pelaku teror, juga meningkatkan status siaga keamanan di dalam negeri hingga siaga 4, status siaga tertinggi di Belgia. Dan untuk mencegah tindak kekerasan yang tidak diharapkan, aparat keamanan ditempatkan berbagai titik strategis dimana banyak berkumpul warga masyarakat seperti kawasan wisata, pusat perbelanjaan, sekolah, bandar udara, stasiun kereta dan sebagainya.
Bukan hanya itu, Pemerintah Belgia juga sempat meliburkan sekolah dan menghentikan angkutan transportasi kereta bawah tanah di Brussel pada akhir November 2015, setelah mendengar informasi akan terjadi aksi balas dendam akibat aparat keamanan Belgia melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap sejumlah orang terduga teroris. Sehingga pada minggu-minggu akhir November 2015 tersebut suasana di kota Brussel seperti kota mati. Warga tidak berani keluar rumah jika tidak sangat terpaksa.
Semua langkah pengamanan ini menunjukkan keseriusan Pemerintah Belgia untuk melindungi warganya dan siapapun yang berada di Belgia dari ancaman teror, mengingat teror dapat terjadi dimana dan kapan saja. Seperti dikatakan seorang Pejabat pada Kantor Urusan Luar Negeri Belgia “serangan teror dapat dilakukan tanpa pandang bulu, bisa terjadi di angkutan umum dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang asing. Karenanya masyarakat dihimbau untuk menghindari tempat-tempat dimana sering terjadi penumpukan orang seperti kawasan wisata, konser, stasiun kereta, bandar udara, dan pusat-pusat perbelanjaan”.
Mungkin karena khawatir akan ancaman teror dan memenuhi himbauan aparat keamanan agar menghindari keramaian, maka daerah wisata seperti Grand Place ataupun pusat perbelanjaan tidak terlalu ramai dikunjungi warga masyarakat. Warga lebih memilih menghabiskan malam di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Apalagi suhu di luar juga cukup dingin sehingga harus berjaket tebal jika ingin berada di luar ruangan. Sementara tidak sedikit wisatawan yang membatalkan kunjungannya ke Brussel.