Lihat ke Halaman Asli

Aris Heru Utomo

TERVERIFIKASI

Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Hanya China yang Berani Tuding Pelanggaran HAM AS

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13938157181913226819

[caption id="attachment_325631" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi/Admin (The Guardian)"][/caption]

‘Adat dunia balas-membalas, syariat palu-memalu’ demikian bunyi sebuah pepatah Melayu yang berarti kebaikan hendaknya dibalas dengan kebaikan, kejahatan dibalas dengan kejahatan pula. Pepatah ini sepertinya tepat untuk menggambarkan langkah yang ditempuh China dalam menghadapi tudingan pelanggaran HAM berat yang disampaikan AS dalam laporan tahunan  yang berjudul ‘Country Reports on Human Rights Practices for 2013’ yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS pada hari Kamis (27 Februari 2014).

Dalam laporan yang dimuat di laman resmi web Kemlu  AS dikemukakan bahwa meski terdapat kemajuan dalam penerapan HAM di China, namun Pemerintah China tetap melanjutkan tindakan yang melanggar HAM seperti antara lain melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah, perlakuan tidak adil terhadap etnis minoritas di Tibet dan Xinjiang dan sensor penggunaan internet.

Berbeda dengan kebanyakan negara lain yang enggan menanggapi laporan HAM Kemlu AS, China justru segera membalasnya sehari kemudian (Jumat 28 Februari 2014) melalui laporan HAM yang dikeluarkan oleh Kantor Penerangan Dewan Negara China yang berjudul ‘the Human Rights Record of the United States in 2013’. Ya laporan dibalas dengan laporan. Lalu apa tujuannya? Seperti dikatakan  juru bicara Kemlu RRT Qin Gang, melalui laporan tersebut China ingin memperlihatkan kepada dunia bagaimana AS yang juga memiliki sejumlah  catatan pelangaran HAM, sebenarnya tidak layak untuk melakukan penilaian (mengenai terjadinya pelanggaran HAM) terhadap negara lain.

Menurut China, di AS sebenarnya juga terdapat sejumlah pelanggaraan HAM berat dan kondisi keamanan yang rawan. AS tidak pantas menganggap dirinya sebagai ‘Hakim HAM dunia’ bagi seluruh negara di dunia, tanpa menyebutkan masalah-masalah HAM di dalam negerinya sendiri. AS mestinya memperhatikan aksi-aksi kekerasan bersenjata, kegiatan memata-matai di dunia internet, penggunaan tenaga kerja anak dan pengangguran yang tinggi.

China menunjukkan bahwa selama tahun 2013, sebanyak 137 orang meninggal dalam 30 peristiwa pembunuhan massal di AS yang mengakibatkan meninggalnya 3-4 orang setiap kali kejadian. AS juga disebutkan telah melakukan pembunuhan terhadap sekitar 926 warga sipil di Pakistan, salah satu sekutu AS, melalui penyerangan bersenjata dari pesawat tanpa awak.

Dikeluarkannya laporan pelanggaran HAM AS oleh China tentu saja menarik perhatian karena sifatnya yang khusus ditujukan kepada satu negara saja yaitu AS. Hal ini  memperlihatkan keberanian China menghadapi AS. Tidak mengherankan jika kemudian isu HAM menjadi salah satu pemicu ketegangan dalam hubungan dua negara dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia, khususnya sejak tahun 1989 ketika AS menerapkan sanksi ke China setelah peristiwa penangkapan aktivitis pro demokrasi di lapangan Tiananmen.

Lebih jauh China tampaknya ingin memperlihatkan mengenai standar ganda yang kerap diterapkan AS, termasuk dalam masalah HAM. Seperti dikatakan Qin Gang ‘AS selalu ingin bergosip dan menilai situasi di negara lain, namun mengabaikan kondisi dalam negerinya. Ini jelas merupakan standar ganda yang klasik’.

Meski mengkritik sikap AS, namun tidak jelas apakah China menyambut baik dilakukannya perbandingan secara terbuka terkait pelaksanaan HAM dengan AS, karena jika hal tersebut dilakukan maka berarti China mesti mengakui penerapan standar HAM universal bagi semua negara. Padahal selama ini diketahui bahwa China berkeberatan terhadap penerapan standar HAM seperti di negara-negara Barat karena statusnya sebagai negara berkembang. China juga menolak saran AS dan negara lainnya untuk menerapkan pemerintahan bergaya barat dan lebih memilih pemerintahan dengan karakteristik China.

Namun terlepas dari sikap saling tuding masalah HAM oleh China dan AS, yang jelas terlihat adalah bahwa penerapan HAM di kedua negara ternyata masih belum berjalan dengan baik. Ketika China dipandang perlu untuk lebih meyakinkan dunia bahwa mereka dapat memberikan perlindungan HAM kepada warganya dengan lebih baik, AS juga dipandang perlu untuk lebih memperbaiki catatan HAM mereka sendiri (Sebelum menilai penerapan HAM di negara lain). Jangan sampai seperti kata pepatah ‘kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak terlihat’.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline