Lihat ke Halaman Asli

Ttradisi dan NIlai yang Menyertainya

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh: Aris Giyanto

ketika kita terlahir menjadi seorang manusia di bumi ini, tak ada satu pun bekal yang kita bawa. Entah bagaimana semua itu terjadi, yan jelas saat itu memori otak kita belum bisa menyimpanya. lambat laun kita berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mulai penasaran dengan hal-hal aneh di sekeliling kita. kita mulai mengenal berbagai peradaban yang diwariskan oleh orang tua kita. Kita diajari bagaimana cara makan, bagaimana caranya berbicara, dan lain sebagainya.

Sebenarnya kita sudah mulai belajar saat kita lahir, otak kita sedah mulai merespon apa yang terjadi di lingkungan kita. Bahkan menurut penelitian kita sudah belajar sejak kita masih berada dalam kandungan. Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya kita bertemu dengan berbagai peradaban yang diwariskan oleh para pendahulu kita, entah sadar atau tidak tetapi proses transfer itu terjadi. Hal itu terus kita lanjutkan hingga menjadi sebuah ciri budaya dalam kehidupan kita. Namun tidak semua orang bersikap kritis terhadap apa yang ia dapat. Karena minimnya pengetahuan dan kurangnya pergaulan, kita sering hanya menerima saja apa yang kita dapat dari para pendahulu kita, tanpa menanyakan apa fungsi, tujuan dan manfaat utama dari kebudayaan tersebut, termasuk makna yang terselip di balik tradisi itu.

Kita terlalu takut untuk berbuat, takut jika apa yang kita lakukan itu adalah sebuah kesalahan. Padahal untuk mengetahui sesuatu itu sebuah kebenaran atau kesalahan kita harus berani mencoba dan membuktikanya. Terlepas dari itu semua entah disadari atau tidak sebenarnya para leluhur kita mewariskan sebuah peadaban yang bernilai dan syarat dengan pesan moral yang tinggi.

Dalam konteks pembangunan kawasan kraton misalnya ternyata para leluhur kita tidak asal membangun tetapi memperhitungan dan menyelipkan berbagai pesan moral bagi kita sebagai generasi penerusnya. Misal saja pembangunan kawasan kraton yang berupa alun-alun, pohon beringin, banguan kraton itu sendiri, pavilium terbuka, pintu gerbang dan lain sebagainya ternyata melambangkan perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati. Penanaman pohon asem di jalan menuju gerbang yang melambangkan masa kanak-kanak yang masih menyenangkan hati orang tuanya, selain itu ternyata pohon ini berfungsi sebagai jalur hijau dan penyerap polusi uadar yaitu timbal.

Prosesi grebeg maulidan yang ternyata berfungsi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, ternyata juga memberikan pesan bahwa seorang raja harus peduli dengan rakyatnya. Hal ini di wujudkan dengan prosesi pengeluaran 2 tumpeng besar sebagi simbol sedekah dari sang raja, dan adanya pesta gerbeg berupa pertunjukan gamelan. Mungkin kalau jaman sekarang pertunjukan gamelan ini bisa disamakan dengan pertunjukan konser artis yang lagi ngetop. Dan pada jaman dahulu itu semua gratis.

Prosesi malam 1 syura yang bertepatan dengan bergantinya tahun penanggalan islam, biasa diadakan tahlilan dan upacara mengelilingi kraton dengan 'tapa mbisu', atau tanpa bersuara. Jadi selama prosesi itu berlangsung kita dilarang bercakap-cakap. Menurut saya prosesi ini memberikan pesan moral yang tinggi dimana hendaknya pada malam itu kita tidak sibuk berbicara dengan mulut kita yang sering salah berucap dan menyakiti hati orang lain. Akantetapi hendaknya kita berbicara dengan hati nurai kita yang tak pernah berbohong. Instropeksi ke dalam diri kita, apa yang telah kita lakukan di tahun kemarin dan bertanya apakah esok hari yang nota bene tahun baru, masih diberi jatah hidup?

Sebuah nilai peradaban yang benar-benar tinggi dan sangat berharga. Itu saja baru sebagian kecil dari prosesi adat yang telah menjadi budaya kita yang secara turun-teurun kita jalani. Belum berbagi makna tembang jawa yang jumlahnya puluhan, yang ketika dinyanyikan oleh para anak-anak menghibur hati mereka, namun ketika para orang tua mendengarnya memberikan bahan renungan yang luar biasa mengenai apa makna kehidupaan ini. Seharusnya kita bangga mempunyai pendahulu yang mempunyai jiwa spiritual dan ilmu yang tinggi seperti ini.

Upaya konservasi alam yang mulai ngetrand akhir-akhir ini ternayta sudah mulai diupayakan bahkan oleh para leluhur kita. Misal saja mitos pelarangan penebangan pohon besar sembarangan, yang ternyata mengajarkan kita untuk menerapkan sistem tebang pilih dalam mengelola alam ini. lalu prosesi adat labuhan yang melambangkan syukur manusia kepada sang pencipta, ternyata memberi pesan agar dalam pemanfaatan alam ini kita berupaya untuk memberikan imbal balik kepada sang alam berupaya upaya pelesatrian, yang dalam tradisi kita diwujudkan dengan pelarungan berbagai hasil alam ke laut.

Itu artinya proses penangulangan dan pemeliharaan alam ini berupa proses yang harus berkesinambuangan dari generasi ke generasi berikutnya. Alasanya berbagai upaya pemulihan kerusakan alam itu tidak bisa berjalan secara instant, tetapi berjalan sedikit demi sedikit, seperti proses perusakannya. Sebenarnya kita harus peka terhadap berbagai pesan yang coba diselipkan oleh para leluhur kita melalui berbagai kegiatan yang beliau wariskan ke kita, karena sebenarnya tanda-tanda kerusakan itu sudah terlihat pada zaman mereka. Sehingga berbagai upaya kegiatan untuk melestarikan alam ini pun sudah mereka upayakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline