Kerusuhan tahun 1998 dan krisis ekonomi yang melanda negeri ini, masih jelas teringat dalam benak saya. Meskipun pada sat itu saya masih berumur 10 tahun, akan tetapi saya msih ingat ketika melihat berita-berita di tv yang isinya didominasi oleh berita tentang kerusuhan. Saat itu saya juga merasakan bagaimana akibat krisis moneter yang notabene baru sekali itu saya dengar. Keadaan yang berubah derastis dan nilai rupiah yang anjlok itulah yang saya ingat. Sebelum krisis melanda saya masih ingat betul ketika ibu mengajak saya ke pasar tradisional dengan uang 50.000 saja, pasti pulangnya bawa barang banyak banget, namun ketika krisis melanda uang 50.000 itu seperti tak bernilai. Harga barang melangit, sementara pendapatan dan kebutuhan tetap.
Hari ini setelah kurang lebih 13 tahun berlalu, saya rasa keadaannya tak jauh beda. Atau mungkin perasaan saya saja kali? Memang sih ada perubahan, tapi menurut saya itu masih sangat kecil. Revormasi yang telah menggulingkan rezim suharto dan membawa harapan baru, ternyata tak jauh beda. Bahkan saya sempet mendengar ada orang berkata : "malah penak jamane pak harto biyen, opo-opo murah ora koyo sakiki." artinya kurang lebih "justru enakan jamanya pak harto apa-apa murah enggak seperti sekarang". banyak orang berkata jaman pak harto malah lebih baik, bahkan survei LSI juga melihat kecenderungan ini. Tapi saya tak mau banyak membahas tentang isu bahwa banyak lembaga survei yang didanai untuk menciptakan iklim politik tertentu ya. Kita positif tinking aja.
Tapi saya ingin berpendapat sedikit, mencoba menelusuri apa yang sebenarnya terjadi. Orang boleh bilang jaman pak harto lebih enak, tapi kita tak boleh menutup mata bahwa pada rezim ini berapa banyak utang negara ke luar negeri. Itu artinya kita bisa menikmati barang murah karena kita disubsidi dengan utang luar negeri. Tapi sekarang generasi ini diwarisi utang oleh para pendahulunya, dan harus membayarnya meskipun keadaan negara sedang kurang baik. Ini artinya kita tidak bisa mengatakan jaman pak harto lebih enak, karena pada kenyataanya demikian. Ibarat keredit barang saat ini kita kebagian ngangsurnya sementara barang yang kita beli sudah rusak dan entah kemana. Hari ini setiap jiwa yang lahir sudah dibebani utang oleh negara yang jumlahnya tak sedikit. Jadi tak adil rasanya jika kita membanding-bandingkan satu rezim dengan rezim lainya.
Amanat revormasi yang diusung tahun 1998, rasanya masih belum bisa terwujud dengan baik sampai sekarang. Saya justru mempertanyakan sudah pantaskah indonesia saat ini menganut sistem demokrasi. Memang jika kita melihat penerapan demokrasi untuk wilayah ibu kota dan kota besar lainya bisa dibilang sangat tepat, namun kita tak boleh menutup mata bahwa negara kita ini negara yang kompleks. Kita tak boleh melupakan bahwa di timur sana masih banyak saudara-saudara kita yang belum bisa mengenyam pendidikan. Bahkan untuk sekedar membaca saja masih belum mampu. Sementara jika kita melihat di ibu kota berapa puluh profesor dan gelar kesarjanaan lainya ada di kota ini, bertumpuk dan sering kali saling berdebat hebat sekali. Kesenjangan yang begitu lebar. Saat para profesor dan politisi kita berdebat mempertahankan teorinya masing-masing dan menganggap dirinya benar di ibu kota, saudara kita berjuang mati-matian mencari makan dan hidup dalam kesederhanaan jauh di sana. Saudara-saudara kita masih bermimpi untuk kuliah atau melanjutkan setudi yang lebih baik, dan entah akan tercapai atau tidak pun mereka tak tahu.
Penerapan demokrasi di daerah yang penduduknya sudah berpendidikan baik mungkin jelas akan sangat efisien, namun bagaimana dengan demokrasi untuk daerah yang penduduknya masih rendah pendidikanya. Bagaimana mereka bisa tahu kompetensi para calon pemimpin mereka jika parameter penilaian mereka belum jelas. Bahkan ada nenek-nenek yang untuk memberikan suaranya bingung bagaimana memilih satu logo partai dalam satu kertas yang bergambar puluhan logo partai. Ada juga orang yang asal pilih karena tak tahu dan bingung mau pilih siapa karena akses informasi yang masih terbatas. Lalu pertanyaanya apakah bisa kita mengatakan demokrasi adalah sistem yang tepat jika para pemilik hak suara masih seperti ini. Apakah demokrasi yang seperti ini akan mampu memberikan solusi untuk mencetak satu pemimpin sejati yang akan membangun negeri ini. Karena jelas saat para pemimpin kita hanya berorientasi pada kwalitas mereka akan dikalahkan oleh para pemburu simpati dan penebar pesona. Akibatnya jelas, popularitaslah yang menjadi prioritas utama bukan kwalitas dan yang terjadi pemimpin kita sibuk berdandan bukan sibuk membenahi dan menyelesaikan masalah negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H