Berdasarkan penilaian Setara Institute, Salatiga di tahun 2018 menempati posisi ke dua dalam urutan kota paling toleransi di Indonesia. Kerja keras dari pemerintah daerah dan masyarakat kota kecil yang terdiri dari empat kecamatan ini dalam menjaga kerukunan dalam lingkungan masyarakatnya yang heterogen patut diapresiasi.
Salatiga merupakan kota yang pada awalnya dibangun sebagai tempat peristirahatan dimasa kolonial Belanda. Daerahnya yang sejuk dan terletak strategis ditengah dua kota besar, Semarang dan Surakarta. Telah menjadi saksi atas terselenggaranya berbagai festival budaya maupun kegiatan keagamaan yang berlangsung secara damai. Bahkan bisa menjadi tontonan yang menghibur bagi warga kota yang berbeda keyakinan.
Salatiga Christmas Parade 2018 merupakan sebuah event tahunan yang digelar pada bulan Desember dengan tema Toleransi Dalam Keberagaman. Merupakan sebuah karnaval budaya sebagai pembuka Natal Bersama yang akan diselenggarakan di Lapangan Pancasila Salatiga pada tanggal 25 Desember.
Parade budaya itu berlangsung pada hari sabtu 22 Desember, diikuti oleh 32 kontingen dari berbagai gereja-gereja Kristen maupun Katolik dan sekolah-sekolah Kristen di Salatiga. Sehingga akupun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan momen tahunan ini.
Meninggalkan rumah sekitar setengah jam sebelum acara dimulai pukul 10.00 sebenarnya cukup mepet waktunya. Biasanya sebagian jalanan di pusat kota lalu lintasnya akan macet jika di Lapangan Pancasila ada suatu event. Namun itulah kompromi waktu yang didapat setelah bersih-bersih rumah. Padahal saat itu juga aku ada agenda untuk memperpanjang pinjam buku di Perpustakaan Umum Daerah (Perpusda) yang belum kelar dibaca.
Dijalanan yang menuju langsung ke Lapangan Pancasila terlihat beberapa petugas polisi sibuk mengatur lalu lintas. Bisa kebayang apa jadinya kondisi jalanan menuju ke Lapangan itu jikalau para petugas polisi yang baik hati tidak hadir. Dipastikan banyak kendaraan akan mengarah kesana sehingga akan menimbulkan kemacetan yang parah.
Akhirnya sampai juga aku ke Perpusda, setelah sebelumnya mencicipi sedikit kemacetan di daerah Kalicacing menuju kearah jalan Kesambi. Sempat heran kok Perpusda terlihat sepi, tidak seperti hari-hari sabtu sebelumnya yang ramai. Ternyata antusias warga Salatiga untuk menonton Christmas Parade sangat besar. Melupakan sejenak asyiknya membaca buku fiksi maupun non-fiksi di Perpusda. Juga fasilitas wifi gratis yang disediakan sehingga bisa menghemat pulsa internet.
Setelah urusan di Perpusda selesai, aku memacu sepeda motorku. Akhirnya kuparkir dihalaman parkir didepan sebuah mini market yang aku lupa namanya. Lokasinya dekat Selasar Kartini. Dari jauh sudah terdengar sayub-sayub suara sebuah group drum band yang membuka kirab budaya tersebut.
Start dimulai dari Lapangan Pancasila menuju ke arah jalan Adi Sucipto kemudian sebentar memasuki halaman pendopo rumah dinas Walikota Salatiga. Masing-masing peserta menampilkan kesenian tradisional yang berupa tarian, musik daerah maupun atraksi-atraksi lainnya yang sangat menghibur penonton.
Salatiga Christmas Parade diselenggarakan tidak hanya sekedar untuk mewujudkan sikap toleransi antar anggota masyarakat Salatiga yang sangat heterogen. Event ini juga sebagai sarana untuk melestarikan budaya daerah nusantara. Terwujud dari kostum yang dikenakan maupun musik tradisional yang dimainkan sepanjang kirab budaya tersebut.
Sehingga wajar saja jika Salatiga dijuluki sebagai miniaturnya Indonesia. Masyarakatnya terdiri dari beragam suku dari berbagai penjuru tanah air. Mereka membawa budaya maupun keyakinannya yang berbeda, hidup rukun berdampingan di kota Salatiga.