Penjajahan Kolonial Belanda dimulai dengan datangnya seorang penjelajah Belanda yang bernama Cornelis De Houtman pada tahun 1596, yang memiliki tujuan untuk berdagang dan mencari rempah rempah. Seiring berjalannya waktu para penjelajah ini mulai ingin mengusai pasar dengan mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602 untuk memonopoli pasar yang ada di indonesia dan asia.
Pada tahun 1619 VOC berhasil mendirikan pos di Batavia yang sekarang dikenal dengan Jakarta. 1602-1799 VOC menguasai Sebagian daerah di Indonesia namun banyaknya korupsi dan konflik yang ada dengan negara eropa lain, pada akhirnya VOC mengalami kebangkrutan sehingga semua aset yang dimiliki di ambil oleh pemerintahan Belanda. Setelah kebangkrutan VOC Belanda mulai memperluas kontrol mereka ke luar pulau jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Papua.
Selama Belanda memperluas kontrol mereka banyak penolakan dari kerajaan lokal sehingga terjadinya perang, salah satunya perang di Ponogoro pada tahun 1825-1830. Setelah perang tersebut kolonial Belanda menciptakan sistem tanam paksa yang dimana 20% setiap desa ditanamkan dengan komoditas ekspor dan seper lima dari panen yang didapatkan diserahkan kepada Belanda dengan harga yang sudah ditentukan. Namun sistem tanam paksa banyak di tentang oleh kaum liberal di Belanda, setelah kaum liberal memenangkan parlemen pada tahun 1870 dan menghilangkan ciri khas dari tanam paksa seperti persentase penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk hasil panen dengan tujuan ekspor.
Kelompok liberal ini membuka jalan sebuah periode baru di sejarah indonesia yang dikenal sebagai periode liberal (1870-1900). Periode ini ditandai dengan kapitalisme swasta dalam Kolonial Belanda. Di periode ini pemerintah Kolonial berperan sebagai pengawas antara pengusaha-pengusaha eropa dengan petani jawa. Walaupun kaum liberal belanda mengatakan keuntungan mengucur ke masyarakat lokal, namun kenyataanya tidak seperti itu banyak para petani mengalami penderitaan, seperti kekurangan pangan sehingga banyak petani yang kelaparan dan banyaknya petani yang terjangkit penyakit menambah penderitaan tersebut.
Selama periode ini diterapkan mendapat banyak kritik dari berbagai golongan, contohnya oleh seorang pendeta yang kemudian menjadi anggota parlemen yaitu Bernama Baron van Hoevell. Baron membela dan memandang bahwa pemerintah Belanda harus memenuhi dan memeperhatikan kepentingan pribumi. Ditambah datangnya pengusaha eropa yang datang membuat harapan masyarakat akan kesejahteraan mulai sulit. Maka dari itu Multatuli (Douwes Dekker) mengkritik pemerintah melalui bukunya yang berjudul Max havellar. Adapun gagasan C. Th. Van Deventer yang dimuat dalam majalah De Gids pada tahun 1899 dengan judul Een Eereschuld yang berarti hutang budi. Didalam gagasan tersebut menjelaskan tentang makmurnya negara Belanda sehingga seharusnya Belanda membayar semua itu dengan cara melaksanakan sistem trilogy atau trias yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi
Dari gagasan tersebut membuat ratu Belanda saat itu Wilhelmina menanggapi perihal gagasan tersebut dalam sebuah pidatonya yang berjudul Ethische Richting (Haluan Etis), yang berisi tentang tanggung jawab moral pemerintah Belanda terhadap kesejahteraan pribumi di Hindia Belanda. Setelah pidato Ratu Belanda mendapatkan ide atau praktik politik baru yaitu politik etis. Walaupun bertentangan dengan eksploitasi yang dilakukan Kolonial Belanda karena politik etis ini mengedepankan sikap kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Politik etis ini diterpakan di Hindia Belanda (indonesia) dari 1901-1942.
Dalam catatan sejarah sekolah era kolonialisme ditandai dengan beberapa pesantren dan sekolah telogi yang mengajarkan Pendidikan agama dan persekolahan Belanda yang dibawa ke Indonesia, biasayanya anak anak pergi sekolah pagi untuk mendaptkan pelajaran sekuler atau Pendidikan untuk mempelajari cara mencari nafkah dan di sore hari anak anak datang ke pesantren untuk mendaptkan pelajaran agama.
Pada abad 18 pendidikan didapatkan secara individu, hal ini bertentangan dengan rencana Capellan yang dimana dia merencanakan program Pendidikan kepada pribumi akan tetapi ditolak oleh gubernur saat itu. Rencana itu menjanjikan Pendidikan modern terhadap pribumi namun rencana Capellan hanya berhasil membangun 3 sekolah pribumi saja yaitu di pasuruan, karawang, dan cianjur. Pada abad 19 sistem Pendidikan di indonesia diubah menjadi sistem Pendidikan barat modern sebelum mendirikan sekolah di jawa sudah ada sekolah telogi yang dimana sekolah tersebut untuk masyarakat yang beragama Kristen
Sekolah di jawa didirikan pada tahun setelah 1850 dengan tujuan untuk dipekerjakan di pemerintahan Belanda bukan untuk kebutuhan rakyat dan juga bukan untuk membentuk sistem Pendidikan nasional. Oleh karena itu, kebijkan ini sangat tidak etis karena menggangu produktivitas pribumi berakibat terganggunya produksi dan perdagangan pada tahun 1830-1870.
Pendirian sekolah ini merupakan implementasi dari politik etis, kebijakan politis etis ini sangat menarik untuk didengar pada akhirnya menarik simpati penduduk pribumi terhadap pemerintahan kolonial dari segi sosial dan politik. Padahal sisitem ini merupalan upaya agar pemerintahan kolonial Belanda bisa mengeksploitasi kekayaan di Indonesia.
Perkembangan sekolah di pulau jawa untuk anak belanda dan pribumi dimulai pada tahun 1817 yang berletak di Jakarta kemudian diikuti dengan pembangunan sekolah di beberapa tempat. Pada tahun 1820 total sekolah yang didirikan ada 7 sekolah. Pembangunan sekolah selalu meningkat setiap tahunnya pada tahun 1835 total sekolah yang didirikan ada 17, ditahun 1845 menjadi 25 dan ditahun 1857 meningkat menjadi 57 sekolah. Walaupun sekolah banyak didirikan akan tetapi tingkat melek huruf di pulau jawa lebih sedikit dibandingkan di tempat lain, pada tahun 1830 jumlah melek huruf pada pribumi baik laki-laki maupun peremupuan ada sekitar 13,4% dan 4,0% masing-masing terhadap 9,7% dan 1,4% penduduk di Jawa, akan tetapi untuk warga minoritas seperti Chinese mendapatkan tingkat melek sekitar 33,2% dan 7,7% di kepulauan luar dan 47,5% dan 16% berada di Jawa
europeesche lagere school (ELS) membuat kebijakan baru kepada system pendidikannya semua anak orang eropa lain dan mereka yang legal disamakan dengan orang eropa lain yaitu berhak memasuki sekolah europeesche lagere school (ELS). europeesche lagere school (ELS) adalah sekolah untuk orang eropa dan untuk pribumi yang orang tuanya punya pangkat yang tinggi , sekolah ini awal didirikan pada tahun 1817 di Batavia dan sekolah yang serupa dengan ELS diperbolehkan dibangun di beeberapa tempat dengan syarat murid setidaknya ada 20 orang untuk di pulau jawa dan 15 orang diluar pulau jawa.
Beberapap para pahlawan yang pernah bersekolah di europeesche lagere school (ESL) contohnya seperti IR. Soekarno yang sempat bersekolah di tempat tersebut melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burger School (HBS), dan juga bapak Pendidikan indonesia yaitu Ki Hadjar Dewantara yang pernah bersekolah yang sama yaitu di europeesche lagere school. Orang orang yang akhirnya menjadi seorang pahlawan yang membebaskan indonesia daari penjajahan.
Hogere Burger School (HBS) sekolah ini diperuntukan kepada orang belanda atau pribumi yang tidak mampu membayar sekolah di ELS. Pada awalnya tidak menerima peserta didik Wanita, hal ini menuai pro dan kontra. Namun, pada tahun 1891 HBS menerima peserta didik Wanita. HBS didirikan pada tahun 1867di Batavia kemudian mendirikan lagi di Surabaya pada tahun 1875, selama 2 tahun didirikannya sekolah HBS di Surabaya pemerintah mendirikan lagi di semarang pada tahun 1877
Pada 28 september 1892 raja memutuskan untuk reorganisasi kebijakan Pendidikan dasar dimana sekolah bumiputra/pribumi dibedakan menjadi
1.Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerstse School). Sekolah ini dimasuki oleh anak dari tokoh terkemuka dan orang-orang terhormat bumiputera.
2.Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) yaitu sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera/pribumi pada umumnya.
3.Sekolah Desa merupakan bentuk perwujudan keinginan pemerintah untuk menyebarkan pendidikan seluas mungkin dan dengan biaya serendah mungkin di kalangan penduduk
4.Hollands Inlandsche School (HIS), di wilayah Surabaya terdapat HIS Negeri dan HIS bersubsidi.
5.Algemene Middelbare School (AMS) didirikan sebagai sekolah lanjutan MULO sekaligus sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi dengan masa belajar 3 Jurnal Humanitas Vol. 7 No. 2, Juni 2021, hal. 81-92 90 tahun. Saat ini AMS setara dengan SMA
6.Sekolah Raja (Hoofdenschool) atau biasa disebut OSVIA (Opleiding School voor Indische Ambtenaren atau Sekolah untuk Pendidikan Pribumi).
7.Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool). Sekolah Pendidikan Guru di Indonesia pada awalnya diselenggarakan oleh zending di Ambon tahun 1834.
Ternyata dari pendirian sekolah yang masif terdapat diskriminasi terhadap pribumi yaitu adanya pembagian sekolah berdasarkan sosial dan ekonomi, terbatasnya fasilitas Pendidikan, dan tujuan Pendidikan hanya untuk sebagai pekerja dan kepentingan pemerintah.
Sebagai menutup dari tulisan singkat ini saya menyimpulkan penjajahan menimbulakn dampak terhadap Pendidikan yang dimana bertujuan untuk kepentingan pemerintahan, akses Pendidikan hanya mengutamakan kepada kolonial Belanda dan kaum elit pribumi. Mesikupun politik etis memiliki dampak yang positif seperti pembangunan sekolah. Tetapi, kebijakan tersebut tetap tidak memberikan akses yang merata bagi seluruh masyarakat dari hal tersebut kesenjangan Pendidikan di Indonesia masih terasa hingga sekarang. Esai ini menunujukan meskipun pendidikan pada masa kolonial berkembang, tujuan utamanya adalah mendukung eksploitasi kolonial dan mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H