Lihat ke Halaman Asli

Terbelah

Diperbarui: 1 Februari 2017   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika biji kedelai satu-satu kukumpulkan. Tak adalah yang hiraukan.

Segelas ku dapatkan. Ku lari ke pasar. Ternyata laku di jual. Biarlah sedikit. Lumayan sudah mampu 'tuk membayar uang makan. Kini ku tahu itu.

Besok nya ku bawa sekarung. Ku jual juga. Bayarannya tak sesuai harapan. Ternyata pedagang itu sdh merusak timbangan. Kini ku tahu itu. Aku terdiam, pedagang pun diam merasa tak bersalah.

Besok nya ku ke pasar lagi. Dengan sisa keberanian ku tegur pedagang itu. Dengan sekejap merangseklah preman seraya berkata, "Ada apa ini? Cari mati kau". Aku terdiam. Kini ku tahu itu.

Semula ku ingin lanjut bertanya. Kenapa kesemrawutan itu ada. Sebenarnya juga ku tahu kenapa, siapa dan bagaimana modus operandinya.

Tak tahulah harus bagaimana. Apalah arti si pengumpul biji kedelai. Lidah laksana terkunci. Terlebih sedikit banyak pelakunya adalah kawan sendiri. Para idealis yang berdiri di dua sisi.

Komsen-Jatiasih, 9 September   2013

Aris Ahmad Risadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline