Pembangunan kawasan perdesaan (KP) memadukan desa membangun dan membangun desa sebagai pendekatan sekaligus program sebagaimana diamanatkan Undang-undang (UU) No. 6/2014 tentang Desa.
Jauh sebelum UU Desa terbit, pembangunan kawasan perdesaan sudah banyak dilaksanakan oleh beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) dalam berbagai konsep sesuai prioritas sektornya. Lokasi program pembangunan KP yang dikerjakan oleh berbagai K/L oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) dikelompokkan dalam tiga katagori:
- Katagori A: KP yang ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan amanat UU Desa. Pada tahun pertama (2015) Ditjen PKP memfasilitasi 72 pemerintah kabupaten/kota sehingga terbentuk 108 KP.
- Katagori B: KP mengacu kepada pusat-pusat pertumbuhan perkotaan sebagai pusat kegiatan lokal (PKL) atau pusat kegiatan wilayah (PKW) – Buku III RPJMN 2015-2019. Pada katagori ini terdapat 40 Pusat Pertumbuhan Perkotaan.
- Katagori C : KP yang ditetapkan K/L sesuai kebijakan sektoral. Menurut Permendesa No. 5/2016 katagori ini disebut KP tertentu.
Katagori B dipilih oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dalam koordinasi dengan K/L terkait guna menetapkan lokasi prioritas pembangunan KP. Pilihan ini beresiko pada minimnya pelibatan desa-desa tertinggal dalam pembangunan KP. Pendekatan pada pusat-pusat pertumbuhan perkotaan ini lebih mendukung pada pencapaian target terbentuknya desa mandiri.
Kemendesa dalam rangka implementasi program pembangunan KP tampaknya mendorong dua skenario, yaitu: Pertama, melalui koordinasi Kemenko PMK yang fokus pada 40pusat-pusat pertumbuhan perkotaan. Kedua, berupaya konsisten mendorong merealisasikan janji-janji pada 108 KP hasil fasilitasi terhadap 72 kabupaten/kota. Skenario kedua ini lebih memiliki ruang untuk pilihan penetapan kawasan perdesaan yang fokus pada penyelesaian masalah/ketertinggalan.
Di luar pelaksanaan program, Kemendesa berkewajiban mengawal agar pembangunan KP sebagai suatu pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan di desa dapat terimplementasi dan sesuai dengan spirit UU Desa.
Dalam UU Desa disebutkan bahwa Pembangunan KP adalah kawasan yang memunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian yang ada dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi dasar dalam pembangunan KP oleh K/L sebelum UU Desa lahir. Pembangunan KP merupakan perpaduan pembangunan antar-desa dalam satu kabupaten/kota, yang dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di KP melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
Pembangunan KP dalam perspektif UU Desa diharapkan prosesnya lebih partisipatif. Yang dilakukan sebelumnya (implementasi UU Penataan Ruang) lebih top down (baca: minim partisipasi masyarakat desa). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2015 (Pasal 123 dan Pasal 124) diatur agar proses penetapan KP harus melibatkan masyarakat desa.
Kemendesa dalam rangka mengawal implimentasi paradigma pembangunan KP telah mengeluarkan Permendesa No. 5 Tahun 2016 tentang Pembangunan KP. Hal ini sesuai amanat PP 47 Tahun 2015 (Pasal 131). Bahkan dilanjutkan dengan penyusunan petunjuk teknis.
Dalam proses penyusunan Permendesa Pembangunan KP terjadi tarik menarik antara keinginan memaksimumkan proses yang partisipatif dan adanya fakta sudah melembaganya proses-proses yang top down. Jalan tengahnya, pada Permendesa Pembangunan KP ada kompromi dua pendekatan ini. Makna partisipatif dilakukan dalam 2 proses inisiatif. Pasal 5 Ayat (1) mengatur bahwa KP diusulkan oleh beberapa desa atau diprakarsai oleh bupati/walikota dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa. Dalam Ayat (6) ditegaskan bahwa KP yang diprakarsai oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan kepala desa dan tokoh masyarakat yang wilayahnya diusulkan menjadi KP.
Apapun upayanya, yang harus diingat adalah jangan sampai mengorbankan kepentingan masyarakat desa. Harus ada kerelaan berubah mengikuti spirit baru UU Desa. Harus ada penghormatan terhadap Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional.
Spirit baru Desa dan pendekatan pembangunan KP harus terus ditularkan kepada berbagai pihak terkait di pusat maupun daerah. Sosialisasi kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan karena perkara pembangunan KP ini juga menjadi kewajiban pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sebagai suatu program, pembangunan KP dapat dilakukan oleh siapa saja. Tapi dalam tata kelolanya harus mengacu kepada semangat UU Desa. Semoga.