Wendy menatap malam dari jendela, melirik gelapnya angkasa. Bintang-bintang enggan membagikan cahaya, rembulan bersembunyi dibalik awan.
Anjing menggonggong keras memecah kesunyian kota. Berteman bayangan, si gadis merundukan pikiran, melayang bersama hamparan atap sejauh mata memandang.
"Kau belum tidur, sayangku?"
Si gadis menorehkan kepala mencari sumber suara itu berasal. Seorang wanita bergaun merah keruh tersenyum dari pintu kamarnya. Ia melangkah maju, parasnya sayup merangkul kesedihan yang terpancar dari mata si gadis.
"Jangan menangis, Wendy. Ayahmu tidak akan senang melihatnya." Ucap wanita itu sembari memeluknya hangat.
"Apa aku harus melakukannya, bu?" Tanya Wendy getir, menyayat hati sang bunda.
"Oh, Wendy. Itu keputusan ayahmu. George tidak punya pilihan lain. Kumohon mengertilah." Ujar wanita itu mengelus-elus rambut merah putrinya.
Ingin sekali ia menggenggam tangan Wendy dan berkata semua akan baik-baik saja. Namun hati kecilnya tak mampu memberi harapan palsu akan nasib buruk yang menimpa putri tercinta.
Gadis itu akan menikah. Jika sang putri lima tahun lebih dewasa, jika calon suami adalah orang yang ia cintai, gadis itu tak akan berlinang air mata, gemetar menunggu hari esok.
"Tuan Killian pria yang baik." Ujar sang ibu.