Gagasan otentisitas muncul sejak akhir abad 18. Gagasan ini muncul atas dasar gagasan individualisme moderen, yakni gagasan berpikir sendiri secara bertanggungjawab yang dicetus oleh Rene Descartes (1596-1650) dan gagasan hak-hak politis individu yang dicetuskan oleh John Locke (1632-1704) (Taylor, 1991:25). Konsep otentisitas kemudian semakin berkembang setelah filsafat eksistensialis menjadi wacana filsafat yang dominan di pertengahan abad 19 dan 20.
Bagi seorang Charles Taylor, identitas itu berkaitan dengan siapa dan dari mana sesuatu itu berasal (Taylor, 1994:33). Otentisitas digambarakan sebagai keadaan asali yang unik dari suatu individu atau entitas tertentu. Identitas otentik berbicara tentang aspek jati diri asali, unik, khas dari identitas tersebut.
Jika dikaitkan dengan manusia, maka identitas otentik dipahami sebagai jati diri asali, unik, yang khusus bagi saya, dan yang saya temukan dalam diri saya. Dengan demikian, manusia otentik menurut Taylor adalah manusia yang jujur dan setia dengan keadaan asalinya atau jati dirinya (Taylor, 1994:28).
Gagasan otentisitas memberikan alasan fundamental pentingnya penghargaan atas hak individu atau kelompok sosial untuk menghayati identitas mereka secara otentik. Taylor dalam hal ini, dari sendirinya menaruh prasangka positif terhadap otentisitas nilai setiap individua atau kebudayaan. Menurut Taylor, konsep otentisitas mencakup otentisitas individu dan kelompok sosial atau kultur.
Pada konteks individual, Taylor menegaskan bahwa gagasan otentisitas dibangun atas dasar keyakinan bahwa setiap individu dianugerahi perasaan atau intuisi moral untuk menentukan yang benar dan salah. Taylor menekankan adanya perubahan preferensi moral. Sumber moralitas pertama-tama bukan terletak pada apa yang ada di luar diri individu. Sebaliknya, setiap individu (an sich), memiliki intuisi moral yang menjadi penuntun baginya untuk menemukan atau menentukan yang baik dan benar.
Setiap manusia memiliki kapasitas melakukan evaluasi secara reflektif untuk mengidentifikasikan keinginan, motif, nilai, dan komitmen tentang apa yang baik. Setiap orang dianugerahi dasar-dasar moralitas yang menjadi pegangan setiap tindakan yang dilakukan (Taylor, 1991:26-27). Dengan lain kata, setiap individu memiliki tanggungjawab moral. Untuk itu, setiap orang dituntut hidup secara otentik dengan jujur terhadap dorongan moral dalam dirinya.
Gagasan tanggungjawab moral individual Taylor mengacu pada Jean Jacques Rousseau dan Johann Gottfried Herder. Rousseau menegaskan bahwa suara kodrati invidu adalah sumber moralitas. Moralitas bukanlah soal sosial, tetapi sesuatu yang tertanam kuat di dalam diri setiap individu. Di dalam setiap individu ada kekuatan kodrati untuk menentukan yang baik atau buruk. Oleh karena preferensi moral melekat kuat dalam tiap individu, maka bagi Rousseau, amatlah penting melakukan kontak personal dengan diri sendiri.
Otentisitas moral lahir ketika setiap orang melakukan kontak personal dengan dirinya sendiri. Kontak personal dalam hal ini dipahami sebagai upaya refleksi, permenungan, dan panggilan yang melibatkan kemampuan intuitif rasional dan bermuara pada suara hati nurani. Baginya, kontak yang mendalam dengan diri sendiri menjadi hal yang paling fundamental dan melebihi tuntutan moral manapun dan merupakan sumber kegembiraan dan kepuasan (le sentiment de l'existence) (Wattimena, 2011:8)
Selain mengacu pada Rousseau, Taylor juga mengacu pada gagasan Johann Gottfried Herder yang menekankan masing-masing dari individu memiliki cara asli untuk menjadi manusia: setiap individu memiliki "ukuran" sendiri. Herder menekankan pentingnya originalitas hidup individu, menghayati cara hidup yang khas tanpa harus mengimitasi cara hidup orang lain. Herder mendasari argumentasinya ini pada gagasannya tentang self sebagai tolak ukur moralitas.
Dengan mengacu pada Herder, Taylor menekankan pentingnya kontak dengan diri sendiri dengan memperkenalkan prinsip keaslian, bahwa setiap orang atau budaya memiliki sesuatu yang unik untuk disampaikan (Taylor, 1994:30). Dalam pengertian ini, maka tidak tepat apabila terjadi penyesuaian sosial yang berlebihan tanpa berkontak dengan diri sendiri. Konformitas atau penyesuaian sosial yang berlebihan malah membuat seseorang atau suatu budaya kehilangan jati dirinya (Wattimena: 2011:9)