Lihat ke Halaman Asli

Ariq Zaidan Athallah

Mahasiswa / Universitas Komputer Indonesia

Masyarakat Dago Elos Melawan Muller Bersaudara, Sengketa Tanah yang Memanas

Diperbarui: 19 November 2024   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

flyer penjarakan muller (Sumber : Pribadi)

Dago Elos, Bandung -- November 18, 2024

Ketika menyusuri jalan-jalan kecil di Dago Elos kemarin, suasana terasa tegang. Masyarakat kampung adat yang sudah tinggal di wilayah ini selama puluhan tahun tengah menghadapi salah satu ujian terberat mereka: mempertahankan tanah leluhur mereka dari klaim hukum yang diajukan Muller Bersaudara, pengusaha properti terkenal di Bandung.

Di tengah kampung, saya bertemu dengan Asep (bukan nama sebenarnya), seorang tokoh masyarakat yang vokal memperjuangkan hak warga. "Kami sudah tinggal di sini sejak zaman kakek-nenek kami. Tanah ini adalah warisan, bukan sekadar tempat tinggal. Tapi sekarang, tiba-tiba kami dianggap penduduk ilegal di tanah kami sendiri," ujar Asep dengan nada getir.

Masalah ini bermula ketika Muller Bersaudara mengklaim tanah Dago Elos sebagai milik mereka berdasarkan sertifikat tanah yang diterbitkan tahun 1995. Namun, masyarakat Dago Elos menuding bahwa sertifikat tersebut penuh kejanggalan. Menurut warga, tanah itu sebelumnya tidak pernah dipindahtangankan sejak era kolonial.

"Ini bukan soal sertifikat, ini soal penghormatan terhadap sejarah dan budaya kami," tambah Nining, salah satu sesepuh Dago Elos.

Masyarakat telah mengajukan gugatan balik di pengadilan dan mendesak pemerintah daerah untuk menyelidiki dugaan mafia tanah yang mereka duga berada di balik konflik ini.

whatsapp-image-2024-11-19-at-20-27-18-b146fb00-673c92d334777c488a428a43.jpg

Wawancara Dengan Salah Seorang Warga Dago Elos (Sumber : Pribadi)

Saya melihat langsung bagaimana dampak sengketa ini pada kehidupan sehari-hari warga. Di salah satu rumah panggung tradisional, Siti, seorang ibu tiga anak, menceritakan bagaimana keluarganya terus diintimidasi oleh orang-orang tak dikenal. "Mereka datang malam-malam, bilang tanah ini sudah bukan milik kami lagi. Anak-anak saya sampai takut keluar rumah," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Selain itu, akses ke beberapa fasilitas umum mulai dipersulit. "Air bersih dari sungai kecil itu sekarang dibendung. Katanya mereka punya izin untuk mengelola sumber daya alam di sini," kata warga lain yang meminta namanya dirahasiakan.

Kemarin sore, ketika saya berjalan menuju salah satu titik konflik, terlihat beberapa spanduk besar bertuliskan "Tanah Adat Bukan untuk Dijual!" dan "Lawan Mafia Tanah!" yang dibentangkan di sepanjang jalan utama kampung. Masyarakat menggelar doa bersama, berharap keberanian dan kekuatan untuk melawan pihak yang mereka anggap ingin merampas hak mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline