Lihat ke Halaman Asli

Pemuda Republik Bangkit

Diperbarui: 11 Februari 2016   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jika kau percaya bahwa perubahan itu ada, berbahagialah. Tak banyak orang yang pikirannya terbuka. Tak banyak orang yang bisa melihat pelangi dibalik awan pekat hitam yang meghujamkan bulir-bulir hujan ke tanah keringmu.

Jika kau mau sebentar saja bermain dengan awan maka alihkan pandanganmu ke arah barat. Pejamkan matamu, dan rasakan tubuhmu berjalan di udara. Tujukan pikiranmu pada sebuah kota kecil, pusat persinggahan daripada sebuah negara republik yang indah. Sebut saja, Republik Bangkit. Negara kecil yang dahulunya menawarkan keceriaan. Di negara itu ada sebuah kota kecil bernama Kota Tua. Di tempat inilah Republik Bangkit terkenal dengan pemudanya. Negara dengan ribuan pemuda yang siap mengguncang dengan semangat murni mereka yang tak pernah padam.

Namun, sudah lama kota itu diselimuti oleh kabut tebal. Awan hitam pekat mengunci tiap semangat yang dimiliki penduduk kota itu. Pasar-pasar tak lagi berdenyut. Remahan kertas tinggalah menjadi sampah tak bermakna. Kota ini berubah muram, semenjak para penguasa memutuskan untuk tak lagi peduli pada kehidupan ekonomi kota kecil itu. Para pemuda tak lagi seperti dulu. Mereka semua hilang harapan. Bertahun-tahun, bukan, mungkin puluhan tahun kota kecil itu bersemayam di balik awan hitam pekat bernama kegelapan.

Namun, lihatlah hari ini. Semua orang beranjak dari santainya. Pasar-pasar kembali berdenyut. Para penjaja bangkit kembali dari mati mereka. Mereka semua turun ke aspal dan berbagi keceriaan. Mereka semua merayakan terpilihnya sosok pemimpin baru negeri yang perlahan menyingkap kabut pekat itu.

***

“Selamat pagi, Pak Presiden.” Salam seorang gadis, sembari meletakkan beberapa dokumen yang menunggu untuk ditandatangani.

“Terima kasih, Rosie. Panggil saja, Revan,” jawabku pelan, senyum terulas di bibirku.

Dia adalah orang ke-sekian yang kuminta untuk tak memanggilku selain dari nama yang sudah repot-repot diberikan padaku. Aku tak pernah terbiasa dengan sebutan yang seolah memastikan perbedaan kasta dalam kehidupan. Mungkin, aku berbeda dengan para pendahulu. Bahwa, menjadi lumbung harapan masyarakat tak akan pernah bisa tercapai jika kau masih saja mengenakan pakaian kebesaranmu. Aku tidak ingin dihormati karena “seragam besarku” tapi karena apa yang bisa kulakukan untuk mereka.

“Rosie, kamu mau temenin blusukan sekarang?” tanyaku pada gadis itu, tepat sebelum menekan kenop pintu untuk keluar. Aku tak mau pergi sendirian. Aku tak mau pergi dengan para penjaga. Memangnya hewan, apa.

“Baik, mas Revan, aku mau,” jawab singkat gadis berambut merah itu.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline