Lihat ke Halaman Asli

Matahari di Langit Senja

Diperbarui: 5 Desember 2015   12:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sebuah perjalanan yang menentukan arah hidup, entah kemana hendak berlabuh. Barangkali ke hutan, atau mungkin laut. Ah, ya, sudah delapan tahun tidak berkunjung ke laut. Apakah masih biru ya? Atau mungkin sudah butek bercampur pasir putih yang kian menua. Tunggu, pasir memangnya punya umur?

Ada, sebuah langkah yang terlupakan. Pada kaki yang hendak melangkah pada sebuah jalan, namun ragu menyerang. Menimbulkan kelabu pada pikiran yang tak beranjak cepat dari sebuah pilihan yang sulit. Jalan itu kosong, penuh kabut pekat. Seperti selongsong peluru kosong pada sebuah pistol, yang ketika ditembakkan hanya ada sebuah teriakan hampa tak bermakna.

Ada yang hilang dari dalam dada ini. Dari sebuah ruang dalam relung hati bernama cinta. Ruang yang tadinya bercahaya namun kini gelap pekat berisikan kekosongan. Entah, apa penawar ulung dari rasa sakit ini. Seorang sahabat menyarankan untuk pergi saja kemanapun kaki ini hendak berlabuh.

Perjalanan hidup. Perjalanan cinta. Perjalanan makna.

***

            Senja. Begitu orang-orang memanggilnya. Ada yang aneh pada lelaki yang biasanya selalu duduk di sudut kedai kopi di pinggir Jalan Padjajaran. Ini sudah tahun kedua dia selalu duduk di sana setiap Sabtu sore, kata salah seorang pelayan yang mengenaliku. Akupun sudah masuk pada bulan kedua mengamati lelaki pendiam itu. Ya, satu-satunya waktu dia berbicara adalah ketika memesan coffee mocca latte, sama seperti kesukaanku.

Setahun lalu, aku memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke kota hujan bernama Bogor. Ah, mana ada kota hujan tapi panas sepanjang hari. Mabuk kali, ya, yang memberikan sebutan itu? Masa bodoh. Hatiku berkata ada sesuatu di kota ini. Rasa sesal yang muncul jika aku tak pernah datang kemari, katanya. Sudah kebiasaan, hati menyimpan banyak misteri dariku.

Sudahlah, ikut saja. Kamu percaya, kan? tanya hati padaku.

Aku tak pernah tahu maksudnya hingga dua bulan lalu, hati mengantarkanku pada kedai kopi ini. Ketika hujan rupanya mulai jatuh menghujam kekeringan beberapa minggu ini. Aku tidak sendirian. Sesaat setelah masuk ke dalam kedai dan memesan secangkir coffee mocca latte, ada lagi seseorang yang baru saja bergegas dari santainya dan mendorong pintu kedai kopi ini. Sebuah wajah tanpa guratan emosi, ekspresipun juga tidak. Lelaki itu yang disebut Senja.

Dia memesan menu yang sama denganku. Menggeser kursi di sudut sana, dan mulai menggenggam erat kedua telapak tangannya erat-erat. Dia mencoba membuat kehangatan, rupanya. Tampak oleh sepasang mata penasaran ini, lelaki itu mengeluarkan sebuah pena dan beberapa carik kertas. Pena itu menggurat perlahan dan terlihat menguntai kalimat, paragraf demi paragraf.

Demi hujan yang membasahi kekeringan, rasa penasaran ini perlahan berubah menjadi sebuah ketertarikan yang tak beralasan. Entahlah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline