Lihat ke Halaman Asli

Terjebak Ritual Demokrasi, Siapa Pilihan Ummat?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tinggal empat bulan lagi, pesta demokrasi akan dihelat kembali. Partai-partai politik sudah mengelus-elus kandidatnya untuk memperebutkan kursi tertinggi negeri ini. Spanduk dan poster berserakan di jalanan. Para kandidat muncul di layar kaca dengan tampang yang tak alami lagi.

Seperti perhelatan sebelumnya, mereka lagi-lagi berbusa-busa mengobral janji. Semua ingin menjadikan negeri ini lebih baik dari sebelumnya kendati tidak dibarengi program yang rinci dan terukur. Dan dapat dipastikan tidak ada satu kandidat pun yang membawa misi perubaha radikal.

Melihat pemunculan mereka di media massa atau di area publik, dapat dipastikan mereka mengeluarkan dana yang luar biasa besar. Sebagian dari mereka memang para pengusaha. Bahkan ada yang memiliki jaringan media massa. Sebagian lain adalah orang-orang yang dibackingi orang kaya.

Kebanyakan mereka adalah stok lama. Mereka adalah orang-orang yang pernah memimpin negeri ini atau berkecimpung bersama rezim-rezim lama yang selama ini dinilai gagal. Dan sepak terjangnya tidak menunjukkan adanya keberanian mereka mengubah kondisi yang rusak bersama rezim tersebut.

Memang ada pula stok baru. Tapi sebenarnya dia selama ini belum teruji kemampuannya. Dia memang populer di media massa. Bukan karena prestasinya tapi karena rekayasa opini yang dibuat tim opininya.

Nah, sosok-sosok inilah yang akan disodorkan kepada rakyat di negeri ini yang mayoritas Muslim. Mereka ingin memperjuangkan Islam? Jangan tanya soal itu. Tak pernah satu pun kandidat baik stok lama maupun stok baru yang akan mendarmabaktikan jabatannya untuk Islam. Semua mewakili kalangan sekuler-liberal yang pro Barat dan sebagian anti-islam.

Bahkan rekam jejak mereka menunjukkan betapa mereka sangat dekat dengan kalangan non Muslim. Hadir Natal Bersama misalnya, sudah biasa. Bahkan ada kandidat yang bertekad memberantas kalangan Islam yang dianggap radikal.

Apatis

Munculnya sosok-sosok tersebut tanpa membawa misi perubahan - kecuali perubahan kepemimpinan saja – menjadi salah satu alasan banyak masyarakat yang apatis terhadap pemilu. Selain itu masyarakat telah muak dengan janji-janji kosong yang tak pernah terwujud.

Banyak pihak memprediksi partisipasi masyarakat akan terus menurun. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, dari waktu ke waktu, masyarakat mulai enggan menggunakan hak pilihnya. Tren ini kian kentara di masyarakat perkotaan yang mulai melek politik. Mereka mulai sadar bahwa pemilu tak mengubah kondisi secara signifikan meski wakil rakyat dan pimpinan berganti-ganti.

Rakyat telah merasakan keberadaan wakil rakyat dan penguasa tak mengubah apa-apa. Malah mereka sadar bahwa justru wakil rakyat bersama penguasalah yang membuat kondisi negeri ini makin runyam.

Wakil rakyat tak pernah sejalan dengan aspirasi rakyat kendati ada partai yang menyatakan suara rakyat adalah suara partainya. Dalam beberapa kebijakan, justru rakyat dikorbankan dan penguasa dimenangkan.

Di kalangan Muslim, suara mereka diharapkan tapi begitu wakil rakyat duduk di lembaga perwakilan, aspirasi Islam diabaikan. Ada beberapa UU yang justru menjerumuskan umat Islam ke dalam kerusakan.

Anehnya, sikap masyarakat yang apatis ini disalahkan oleh partai politik. Padahal sikap rakyat ini adalah dampak dari perilaku partai politik itu sendiri yang abai terhadap rakyat. Kaum Muslim pun kembali digiring untuk memilih pemimpin/wakil rakyat yang tak pernah merepresentasikan Islam. Ayat-ayat suci pun digunakan untuk melegitimasi penggiringan itu.

Perubahan

Perubahan menjadi hal yang dituju. Tapi perubahan seperti apa? Inilah yang tidak pernah disampaikan oleh para kandidat penguasa dan wakil rakyat. Semuanya bersifat abstrak.

Jika perubahan itu hanya perubahan sosok kepemimipinan, ini adalah mengulang kesalahan yang ke sekian kalinya. Bukankah negeri ini sudah berulang kali berganti pimpinan dan wakil rakyat? Bukankah semuanya gagal?

Nah, kalau mau jeli, sebenarnya persoalannya bukan terletak pada sosok pemimpinnya saja. Faktor sistem, sebenarnya sangat menentukan. Sebaik apapun pemimpinnya, kalau sistemnya bobrok maka dia tidak akan mampu membawa laju negeri yang dipimpinnya. Dalam kasus negeri ini, terbukti sistem kapitalis-demokrasi saat ini telah gagal.

Maka, perubahan sistem menjadi mutlak dilakukan jika ingin ada perubahan yang hakiki. Pertanyaannya, sistem apa? Tidak ada alternatif sistem lain kecual sistem Islam. Kembali ke sosialis-komunis berarti mengulang kesalahan. Mempertahankan sistem kapitalis-sekuler-demokrasi berarti berkutat dalam kubangan kegagalan.

Sistem Islam memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem lainnya. Sistem ini berasal dari Yang Maha Baik, Yang Maha Benar, Yang Maha Adil. Sistem ini terbukti berhasil membangun peradaban yang tinggi yang belum pernah ada sebelumnya selama berabad-abad lamanya.

Nah, dalam konteks perubahan menuju penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah itulah seharusnya partai berada. Bukan sebaliknya, partai politik menjadi benteng bagi sistem yang rusak. Karena itu, tidak ada pahalanya – mungkin malah berdosa – memimpin negeri milik Allah dengan sistem rusak buatan manusia.

Lama kelamaan umat menyadari apa yang terjadi. Berbagai ketidakadilan dan penindasan yang mereka alami telah menjadikan mereka rindu terhadap penerapan syariah Islam secara kaffah. Survei global membuktikan itu.

Jadi, jangan kaget ketika Khilafah tegak dan menerapkan syariah secara kaffah, masyarakat dunia khususnya dunia Islam akan menyambutnya dengan suka cita. Inilah masa yang dijanjikan Allah dan dinantikan oleh umat. [] emje | AP




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline