Setelah berhasil meraih penghargaan Best Screenplay atau skenario terbaik di Festival Film Cannes 2024 dan mendapatkan berbagai pujian di kalangan kritikus film dunia, The Substance akhirnya mendapat kesempatan untuk tayang di bioskop Indonesia. Film dengan genre body horror ini ditulis dan disutradarai oleh seorang sutradara berkebangsaan Prancis bernama Coralie Fargeat. Ini merupakan film keduanya setelah Revenge yang tayang pada tahun 2017.
Elizabeth Sparkle (Demi Moore) merupakan seorang selebriti Hollywood yang sangat terkenal hingga namanya terpampang dalam jajaran plakat Walk of Fame. Namun, ketenarannya perlahan meredup seiring dengan usianya yang bertambah tua. Meskipun begitu, Elizabeth tidak membiarkan persoalan usia menghalangi karir panjangnya. Ia masih tetap eksis menjadi seorang host acara senam di televisi dan nampaknya belum berniat untuk menyudahi karirnya.
Di ulang tahunnya yang ke-50, Elizabeth mendapat kejutan ketika produsernya yang bernama Harvey (Dennis Quaid) memecatnya secara sepihak. Hal ini ia lakukan karena ia menginginkan host yang lebih muda dan menggiurkan. Kejadian itu tentu saja membuat Elizabeth merasa kalut hingga mengalami kecelakaan mobil. Musibah itulah yang kemudian mengantarkan Elizabeth ke sebuah pesan misterius berupa iklan mengenai suatu cairan yang dapat membuatnya menjadi lebih muda, menjadi dirinya dengan versi yang lebih baik.
Kendati sempat ragu, Elizabeth akhirnya memesan cairan tersebut dan langsung menyuntikkannya ke dalam tubuhnya. Ia tak menyangka ketika cairan itu benar-benar membuat dirinya menjadi sosok yang lebih muda dan segar. Dengan identitas barunya yang bernama Sue (Margaret Qualley), ia menjalani kehidupan barunya dengan perasaan penuh kebahagiaan. Ia sangat bertekad untuk mengulang karirnya kembali hingga ia mulai terlena akan beberapa pantangan yang harus dilakukan.
Bagi para penikmat film yang pernah menonton film karya David Cronenberg seperti The Fly (1986), tentu sudah tidak asing lagi dengan genre body horror. sensasi merinding yang dirasakan ketika melihat transformasi tubuh secara anomali, luka-luka fisik yang sengaja dieksplorasi secara vulgar, adegan-adegan tidak biasa yang ada di film ini sangat mengingatkan akan karya-karya David Cronenberg.
Elemen horor tersebut disajikan oleh Coralie Fargeat dalam bentuk komedi satir mengenai objektifikasi perempuan yang sering terjadi di dunia hiburan. Melalui sudut pandang Elizabeth, penonton dibawa ke dunia penuh gemerlap namun di sisi lain juga menyimpan realita yang gelap. Begitu mudahnya perempuan dibawa dan disingkirkan sesuai dengan kehendak para laki-laki mesum yang berkuasa.
The Substance juga mengungkit isu standar kecantikan yang tak jarang justru mengkerdilkan para perempuan dalam memandang bentuk fisik tubuhnya. Lagi-lagi latar dunia hiburan lah yang menjadi biang kerok utama mengenai persoalan standar kecantikan perempuan. Seseorang seperti Elizabeth yang digambarkan masih sangat cantik dan elegan di usianya yang sudah 50 tahun, ia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya dan itu membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Film ini seperti menyadarkan para penonton agar tidak terjebak oleh standar kecantikan yang sengaja dibuat-buat. Karena ketika seseorang mulai merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, ia akan mengucilkan dirinya sendiri dan mungkin saja rela menggunakan segala cara demi memenuhi standar semu itu.
Keindahan film ini tidak hanya terbatas pada isi cerita namun juga dari segi sinematografinya. Warna-warna yang menjadi komposisi tiap frame terlihat sangat mewah dan menguatkan sisi glamor dunia selebriti. Selain itu, ada begitu banyak close-up shot yang dapat mempengaruhi persepsi penonton, entah itu merasa lebih terpana atau malah lebih jijik. Semua sangat diperhitungkan dengan saksama dan membuat The Substance tidak hanya sebatas parade berdarah-darah, melainkan mahakarya sinema secara utuh.
Dengan berbagai muatan dewasa yang cukup eksplisit dan tidak tanggung-tanggung, wajar apabila film ini mendapat rating 21+ di bioskop Indonesia dan tidak etis apabila ditonton bersama anak-anak. Ada beberapa adegan nudity yang mendapat sensor blur, namun tidak ada satupun adegan yang dipotong. Karena itu, meskipun mendapatkan sensor, film ini tetap layak untuk ditonton mengingat begitu bagusnya pesan yang disampaikan. Sound design dari film ini pun juga tak kalah megah, sehingga membuat theatrical experience menjadi lebih terasa.