Lihat ke Halaman Asli

Arip Senjaya

Dosen, pengarang, peneliti

Mayat Puisi dari Kematian Penyair

Diperbarui: 3 Januari 2023   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Perancis saya pernah mendengar istilah cadavre exquis. Secara kata ia berarti 'mayat yang aduhai'. Dan ia merupakan metode bagi penciptaan puisi, meski boleh saja ia pun digunakan untuk karya lain seperti seni rupa, teater, dll.

Metode ini membayangkan dunia sebagai tempat sampah dan kita selaku para seniman diminta memanfaatkan sampah-sampah itu dan lantas mendaurulangnya jadi karya. Kata-kata juga sampah tokh! Maka, penyair di abad ke-20 mengalami "kematian" karena gagasan tersebut selain menguatnya strukturalisme.

Kematian penyair di abad tersebut sebenarnya hanya kematian kecil, yakni matinya individu-individu, karena setelah itu puisi dapat dibuat oleh keroyokan.

Sebenarnya metode ini sangat seru. Misalnya kita ada lima orang, lalu masing-masing menyumbangkan sampah kata untuk didaur ulang. Saya menyumbang 'kentang', Opik menyumbang 'ular', Doni menyumbang 'awan', Dudi menyumbang 'daun', Anton menyumbang 'pintu', maka dapatlah kita susun jadi Pintu ular [di] awan daun kentang. Kata 'di' adalah tambahan saja. Atau Ular awan mendaun pintu, [dan matanya] kentang. Teruslah disusun-susun dan jadilah karya anonim lagi macam lagu-lagu dolanan. Cing ciripit/tulang bajing kajapit/kajapit ku bulu pare/bulu pare memencosna/dst.

Lagu-lagu dolanan pasti lagu yang dibuat bersama, dan ternyata abadi. Keabadian mungkin karena disebabkan dibuat bersama, ramai-ramai, dan penuh kenangan, karena setiap susunan dibuat dalam momen yang selalu dapat dikenang. Lalu generasi pertama yang pernah membuatnya mewariskan kepada setiap anak, lantas cucu, dan cicit.

Lalu puisi apa yang akan dihasilkan dalam kerja kolaborasi macam itu? Keith Holyoak menyebutnya puisi temuan  (found poetry). Menurut saya kalau kita tidak pandai menemukan hukum fisika macam Newton, kita rasanya bisa kok jadi para penemu puisi! Hore, mayat kita betapa aduhai! Disebut mayat karena dari kematian kata-kata. []

*) Gambar di atas adalah mayat puisi saya yang dihidupkan oleh Arman Jamparing Act Move. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline