To enter upon this path is the strength of thought,
to continue on it is the feast of thought (Heidegger, 1971)
1. Pihak ketiga
Seni itu pada dasarnya merupakan pihak ketiga yang bobotnya dirasakan seniman dan pemirsanya. Awalnya begitu. Dan sebagaimana bobot benda di tangan kita, pihak ketiga ini dirasakan belaka, kita tidak dapat melihat atau menyentuh beratnya melainkan bendanya.
Maka tidak pernah ada pameran seni dalam arti seni itu terlihat. Pastilah yang dipamer-pamerkan melulu karya-karya, benda-benda, hal-hal yang tampak atau tersentuh, atau berupa suara seperti dalam nyanyian, dongengan, baca puisi, atau gabungan semua itu seperti dalam teater.
Lantas kita suka, dan di atas rasa suka ini kita memberi label "seni" terhadap karya-karya. Rasa suka boleh disebabkan oleh kelembutan karya, detail karya, cara kritik bekerja di dalamnya, dunia yang dihadirkannya, permainan metafor-metafornya, pembolak-balikan kenyataan, dan alasan-alasan lainnya. Dan rasa suka dikenai hukum durasi sebab tak pernah ada seniman dan pemirsa karya yang bertahan dalam rasa yang sama.
Seniman selalu membuat karya baru untuk rasa yang baru dan pemirsa karya akan mencari karya lain lagi untuk rasa yang juga lain lagi. Sikap eksploratif-eksperimentatif para seniman seperti sikap yang sama dari para saintis yang ngulik, arsitek yang merancang pembangunan menantang, atau filosof yang tak pernah puas dengan pejelasannya sendiri. Dalam hal ini setiap profesi tidak ada bedanya, menginginkan pihak ketiga, yakni rasa puas (disebut puas rasa juga boleh).
Bedanya dengan binatang mungkin kepuasan manusia itu bersifat rasa, bahkan dalam urusan makan pun manusia itu menginginkan ketenangan dan ketentraman, bukan kekenyangan. Sedangkan hewan mungkin orientasinya kenyang saja. Mungkin. Karena kita tidak dapat mendengar pengakuan para belatung saat mereka istirahat makan. (Apakah para belatung istirahat setelah makan atau terus saja makan? Saya kurang tahu juga).
2. Kelangsungan kelompok karya dan kepunahannya
Di antara begitu banyak pilihan, seniman dan pemirsanya punya kecenderungan memilih corak, nada, bentuk, struktur yang terkelompok-kelompok sehingga teridentifikasi dalam kecenderungan umum kelompok-kelompok tersebut. Tulisan berbait-bait disebut puisi, senimannya disebut penyair. Baik puisi maupun penyair adalah sebutan untuk kelompok. Corat-coret hitam putih di atas kertas disebut drawing, di dinding ruang publik disebut mural, di kanvas jadi lukisan. Pertunjukkan di atas panggung disebut teater, di jalanan disebut performance art, dalam situasi protes para demonstran disebut aksi teatrikal. Tumpukan benda di gudang tidak bermakna, dibawa sebagian ke galeri atau festival jadilah instalasi seni.
Apa pun bentuknya, coraknya, desainnya, strukturnya, ekspresinya, adalah tentang kelompok masing-masing hal tersebut. Mereka yang membuka lahan baru mungkin lebih punya bobot seniman daripada yang memasuki kelompok yang sudah ada sehingga bobot karya adalah bobot senimannya juga.