Lihat ke Halaman Asli

Arip Senjaya

Dosen, pengarang, peneliti

Paradoks E.M. Cioran

Diperbarui: 3 Juni 2022   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Di sebuah pengalaman, saya bertemu dengan salah seorang teman yang sudah putus asa dengan filsafat, dan karena itu dia memilih tidak lulus kuliah filsafat, dia bilang bahwa filsafat sudah selesai karena penuh paradoks.

Saya bertanya mengapa? Maksud saya waktu itu bukan bertanya mengapa paradoks, tetapi mengapa dia sepesimis itu jadi seorang pembelajar filsafat.

"Sebab filsafat sudah terjebak dengan paradoks-paradoksnya," kata dia.

Dia tidak mengerti arah pertanyaan saya. Saya sebenarnya bertanya mengapa ia harus menyerah.

Dia pikir paradoks adalah sebuah kebuntuan filsafat, dia terlalu negatif memandang paradoks, dan pantas saja dia tidak lulus, dan semoga itu bukan karena pilihannya, tetapi memang keluguannya dalam memandang filsafat.

Memang hanya yang dengan bersikaf arif terhadap paradoks yang pantas melanjutkan bacaan-bacaan filsafat. Tanpa kemampuan bersikaf arif, jangan ambil bagian dalam tradisi ini. Bukan hanya filsafat itu yang mencari kearifan, tetapi membaca filsafat juga perlu kearifan dan melatih diri untuk menjadi arif. Ini mungkin tidak diajarkan dalam mata kuliah membaca.

Kita ambil contoh Emil Cioran, filosof yang agak jarang dibahas padahal begitu penting khususnya bagi mereka yang selalu menyerah dengan alasan paradoks itu. Esai-esai Cioran memang beberapa paradoks, benar, dan saya akan tunjukkan bahwa paradoks tidak buntu sama sekali.

Saat Cioran berkata tidakkah sebaiknya kita bertahan diam merasakan derita hidup daripada mencari-cari bentuk untuk menyalurkannya, maka serta-merta itu paradoks, bukan, karena ia mengatakannya, namun kalau ia tidak mengatakan hal itu, apakah kita dapat mendengar pikirannya?

Paradoks Cioran tersebut ---"bertahan-tapi-mengatakan"--- bukan untuk tujuan menciptakan paradoks. Dia tidak untuk mengantarkan kita untuk bicara paradoks. Kalau dia tidak menuliskan pikirannya itu, itu baru disebut buntu, dan kebuntuan tidak sama, tidak identik dengan paradoks. Cioran menuliskannya, dan artinya ia memasuki bentuk, dan ia paradoks, tapi kita jadi tahu pikiran dia, dan setelah tahu kita tidak peduli lagi dengan paradoksnya ucapan dia itu.

Karenanya, belajar filsafat dan bertemu paradoks seumpama melaju di jalanan dan terantuk polisi tidur. Kau perlu bijaksana. Kau jangan berhenti sebab polisi tidur bukan tujuan perjalanan kau! Bahkan Cioran yang pesimistik itu tidak mengajak kita pesimis, dia mengajak kita untuk tidak melupakan asali kita sebagai makhluk dalam kutukan eksistensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline