Lihat ke Halaman Asli

Arip Senjaya

Dosen, pengarang, peneliti

Dapatkah Kita Kembali Polos?

Diperbarui: 3 Juni 2022   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Pada satu kesempatan saya berjalan-jalan ke Banten Lama, dan anak-anak di foto ini saya sendirilah yang memotretnya. Mereka betapa mengesankan saya, juga---sebenarnya---mengesankan orang-orang dewasa lainnya.

Tiba-tiba saja saya sadar bahwa saya cemburu pada kepolosan mereka, saya ingin kembali ke masa lalu yang macam mereka itu. Dulu saya juga begitu, bertelanjang-telanjang di sungai Cimande atau kolam di dekat musala lama di selatan kampung saya. Sering juga saya berlari telanjang sehabis mandi dari kamar mandi di luar menuju rumah tanpa sehelai handuk.

Kita semua pernah begitu, polos, dan polos bukan lugu sama sekali.

Kepolosan itu sangat murni, tidak ada kaitan dengan keluguan. Kemurnian anak-anak terletak pada integrasinya yang organik dengan alam, sehingga hujan tak pernah menjadikan kepala nyut-nyutan, telanjang tak pernah menjadikan diri malu, dan jangankan kolam bersih macam di Banten Lama ini, air banjir yang membawa sampah pun jarang membikin mereka gatal-gatal, dan kalau pun gatal-gatal tidak jarang mereka membanggakan gatal-gatalnya itu kepada teman-teman mereka.

Jangan-jangan konsep ikhlas dalam agama Islam juga diturunkan dari makna polos/kepolosan ini, sedangkan ikhlas berada di saat kita tak lagi terintegrasi dengan alam, yakni ketika menderita karena sakit perut, lebay karena sakit kepala, manja karena  korengan, panik karena merasa porno saat aurat tersingkap. Ikhlas adalah ajaran untuk mereka yang hampir atau sedang putus asa untuk bahagia.

Anak-anak macam ini tentu tidak harus diajarkan makna ikhlas karena mereka hidup dalam keikhlasan; mereka tidak berputus asa; mereka adalah bagian dari harmoni alam; mereka adalah kebahagiaan itu sendiri.

Lalu dari mana asalnya keluguan? Saya kira lugu berdampingan dengan tahu. Mereka yang tahu-nya terbatas itu-itu saja pantas disebut lugu. Orang yang biasa makan di warteg, bisa menjadi lugu saat pertama makan di restoran Padang yang besar, karena tahu-nya hanya warteg. 

Mereka yang mengukur moral dari kampung halamannya juga lugu. "Kamu jangan mengasuh anak, karena kamu laki-laki, suami. Di kampung saya, tidak ada suami mengasuh anak!" Dia pikir moral di kampungnya itu berlaku bagi moral kampung lainnya. Itulah lugu. Keluguan tidak berarti kebodohan, tetapi keterbatasan-tahu yang akut.

Yang jadi masalah kemudian adalah mungkinkah kita dapat kembali polos, terintegrasi, harmonis dengan alam macam anak-anak kebahagiaan ini? Rasanya sulit sekali, karena masa tidak tahu itu adalah masa yang sesaat saja, di masa kita bocah-bocah pemberani macam mereka, yang kemudian harus ditindas oleh masa tahu bertahun-tahun kemudian hingga kita tak punya lagi keberanian memasuki hidup. 

Konsep ikhlas pun, bahkan, kita dapatkan dari masa-masa pendefinisian ikhlas itu sendiri, bukan dari ayat Allah yang tidak tertulis tapi jelas membuat kita cemburu. Adakah ilmu pengetahuan yang mengajarkan kita untuk kembali tidak tahu? Kita hanya ingin tahu, dan epistemologi dalam filsafat sepertinya tidak tertarik membicarakan ketidakingintahuan dan ketidaktahuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline