Mungkin donat bermakna do or not, lakukan atau tidak lakukan, dan memakannya harus sampai menciptakan tekad bulat untuk do! atau not! Hanya ada dua pilihan. Karena itu donat umumnya berlubang, lubang dari bunyi “o” pada keduanya. Dan aku tak pernah yakin hingga sekarang bahwa ia makanan dari lidah-lidah berbahasa Inggris. Bahwa kemudian ia melejit di perkotaan sebagai makanan populer bergaya Barat, mungkin saja pada mulanya memang dari Barat. Yang jelas donat buatanku hanya donat dari pengalamanku sebagai seorang yang hampir gagal menembus hidup yang sempat tertutup.
Betapa, jika ingat bagaimana jadi pengusaha donat itu dimulai: semua berangkat dari salah kaprahku memandang guru donatku. Ia dulu kusangka guru yang “berbahaya”, yang haus pada “daging” anak-anak didiknya, yang kawin-cerai dengan beberapa orang terpandang di kota kami, yang materialistis, bahkan yang —mohon maaf— pelacur. Dulu kukira dia sangat jalang hingga kata “pelacur” pun masih belum tepat sebenarnya.
Waktu itu kelas satu SMP, dan aku lolos saringan kelas pilihan, satu-satunya anak lelaki yang lolos, hingga teman-temanku yang tidak lolos menakut-nakutiku suatu hari jadi bencong karena semua teman di kelasku adalah perempuan.
Kelas ini kelas D, paling dekat dengan Ruang Guru. Dan hanya kebetulan pada mulanya bahwa kelas “D” berarti “Kelas Donat”.
Begini guru hebatku itu bicara ketika pertama masuk kelas.
“Halo anak-anak Kelas D, Kelas Donat? Hanya di kelas ini ibu akan mengajarkan tataboga, tidak di kelas-kelas lainnya. Yang lain belajar keterampilan umum, di kelas ini, kita akan belajar seputar dapur. Suatu keterampilan khusus.” Lalu dia melirik ke arahku, “Dan kamu, akan jadi satu-satunya lulusan sekolah kita yang mengerti dunia perempuan, dunia dapur!”
Aku terdiam, teringat ibuku yang suka menghabiskan waktu di dapur. Benar juga dunia perempuan dalah dunia dapur.
“Tapi ingatlah, jarang sekali chef-chef ternama itu perempuan. Umumnya laki-laki. Ibu jamin kamu akan jadi chef ternama!” katanya. “Tak usah malu dieejek teman-temanmu yang tahu kamu belajar mengaduk tepung dan telur, memotong sayuran, juga… mencuci piring!”
Aku pun melamunkan ayahku yang tidak pernah mencuci piring dan terbayang ia akan kecewa jika ternyata aku lebih pandai mencuci piring daripada memecahkan soal-soal matematika. Ini kelas pilihan, mengapa juga harus belajar semua itu? Di awal pelajaran aku membatin dan menyesali mengikuti saringan dengan sungguh-sungguh.
Tidak kutahu bahwa ternyata sekolah kami ada perjanjian kerja sama (MoU) dengan SMK bidang tataboga dan kelas pilihanlah yang mendapatkan program persiapan itu. Aku tahu kemudian hari saja bahwa ada teman-teman sekelasku yang melanjutkan sekolah ke SMK tersebut tanpa melalui rangkaian tes yang panjang karena sudah berpengalaman dengan dapur di kelas kami. Beberapa dari temanku itu pernah pula juara lomba memasak antarpelajar.
Pertama-tama aku hanya pasrah, tapi sejak kelas pertama itu dimulai, perlahan-lahan aku mulai sangat jatuh cinta pada tataboga, terutama gurunya.