Lihat ke Halaman Asli

Kualitas Guru: Linieritas Pendidikan dengan Sertifikasi Guru pada Kementerian Agama

Diperbarui: 25 Januari 2017   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semenjak diterbitkannya dan dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka profesi sebagai guru menjadi semakin menarik di Masyarakat. Dalam Undang-Undang tersebut pada Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Adanya jaminan Undang-Undang terkait besaran dana pendidikan membuat pembayaran terhadap tunjangan profesi guru dapat berjalan dengan relatif lancar. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Tunjangan profesi sebagaimana diberikan setara dengan satu kali gaji pokok bagi guru PNS yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Sedangkan untuk guru Non PNS diberikan tunjangan profesi sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah per bulan. Selain itu bagi guru Non PNS yang memenuhi syarat akan dilakukan inpassing, sehingga memperoleh tunjangan setara dengan satu kali gaji pokok guru PNS dengan golongan dan pangkat yang sama.

Meskipun tunjangan profesi guru non PNS nilainya belum bisa dianggap besar, namun kepastian dan jaminan pembayaran dari pemerintah membuat banyak masyarakat meliriknya. Akibatnya persepsi masyarakat terhadap profesi guru juga berubah. Masyarakat telah mensejajarkan antara profesi guru dengan profesi-profesi lainnya. Dimana sebelumnya, masyarakat memandang profesi guru lebih rendah dibandingkan dengan profesi lain dengan melihat tingkat kesejahteraannya. Saat ini profesi guru sangat diminati oleh masyarakat, salah satu indikatornya adalah jumlah peminat pada universitas yang menghasilkan guru setiap tahun mengalami peningkatkan yang signifikan.

Menjadi guru di lingkungan Kementerian Agama menjadi incaran oleh sebagian besar lulusan sarjana pendidikan. Hal ini disebabkan karena mudahnya sarjana lulusan baru masuk menjadi guru, khususnya di madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak dari madrasah negeri. Selain itu proses sertifikasi guru Non PNS di lingkungan Kementerian Agama memang relatif lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan sertifikasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin menyampaikan bahwa jumlah total guru pada Kementerian Agama sampai dengan Desember 2015 mencapai angka yang fantastis, yakni 1.100.238 orang, dengan rincian guru PAI sebanyak 232.415 dan guru Madrasah sebanyak 813.590. Jumlah guru yang sudah tersertifikasi mencapai 565.392, dengan rincian sertifikasi guru Madrasah sebanyak 387.749, sertifikasi guru PAI sebanyak 168.355. Adapun guru yang belum tersertifikasi, berjumlah 534.846 orang.

Sayangnya dari seluruh guru Kementerian Agama baik PNS maupun non PNS yang telah mempunyai sertifikat pendidik dan menerima tunjangan profesi guru, belum seluruhnya mempunyai ijazah S-1 yang linier dengan sertifikat guru yang diperoleh. Berdasarkan hasil audit Tahun 2015 yang telah dilakukan penulis, paling tidak terdapat 10% guru yang mengajar tidak sesuai latar belakang pendidikannya (mismatch), meskipun sudah sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya.

Padahal menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru disebutkan bahwa Kualifikasi Akademik Guru minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 5 ayat (1) Kualifikasi Akademik Guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditunjukkan dengan ijazah yang merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi Guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Namun pada pelaksanaannya timbul asumsi umum bahwa yang penting guru sudah memiliki ijazah S-1 atau D-IV, maka guru tersebut berhak mengikuti sertifikasi. Ada beberapa pihak terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru yang lalai tentang adanya pasal kesesuaian antara kualifikasi akademik guru dengan mata pelajaran yang diampu. Pihak-pihak tersebut adalah pihak Madrasah yang mengusulkan nama guru, pihak Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang mengirimkan daftar peserta sertifikasi dan pihak perguruan tinggi selaku penyelenggara sertifikasi guru. Pihak-pihak tersebut hanya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 4 ayat (2) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Meskipun demikian pembayaran tunjangan profesi guru yang mismatch tetap dibayarkan, karena persyaratan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 15 ayat (1) huruf c. hanya mempersyaratkan mengajar sebagai Guru mata pelajaran dan/atau Guru kelas pada satuan pendidikan yang sesuai dengan peruntukan Sertifikat Pendidik yang dimilikinya. Akibatnya demi mengejar tunjangan profesi guru terjadi kasus guru yang lebih memegang teguh untuk mengajar sesuai sertifikat pendidiknya, bukan sesuai ijazah -1 atau D-IV yang dimilikinya.

Kasus ini menimpulkan polemik tersendiri, dimana sangat wajar bagi guru ingin mendapatkan tunjangan profesi sebagai sumber penghasilannya. Namun disisi lain bagaimana kualitas guru dapat dipertanggungjawabkan, apabila mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hasil kuliah selama lima tahun dikalahkan dengan kegiatan sertifikasi yang hanya dilaksanakan selama dua minggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline