Sebelum membahas tentang penurunan uang kuliah tunggal (UKT) alangkah baiknya jika pembaca yang budiman menyeduh kopi terlebih dahulu, dan menyediakan udud yang pasti buat ngudud.
Kalau pembaca berkenan bisa mengirim udud beberapa slop buat saya, karena ini akan agak panjang. Tentunya penulis disini juga membutuhkan asupan nikotin yang cukup, agar pertemuan kita kali ini akan menjadi lebih syahdu.
Artikel sebelumnya : Jokowi Lingkung, Masyarakat Bisa Apa?
Apakah topik ini cukup menarik untuk diangkat? atau hak ini hanyalah menjadi ketimpangan lainnya yang akan di mafhumi? Tapi tunggu dulu, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya pembaca harus menyeduh kopi terlebih dahulu.
Kalau saya ngomong panjang lebar sedang pembaca hanya memesan es teh, saya rasa pertemuan kali ini akan menjadi sia-sia dan sisa-sisa yang tidak ada artinya.
Pembaca yang budiman. Di kampus saya, Jawa Timur yaitu Universitas Trunojoyo Madura sedang hangat perbincangan dan diskusi tentang penurunan UKT. Meskipun dari pihak rektorium telah memberikan keringanan yang menjadi keresahan para civitas, hal ini dinilai tidak cukup dan terkesan melenceng.
Ini penting, dan krusial.
Pertama, syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mendapatkan fasilitas tersebut sangat rumit. Sedangkan seperti yang khalayak ketahui, pandemi ini bersifat merata dan semua orang terkena dampaknya.
Penurunan UKT yang terbatas sangatlah rawan. Ini lucu, dan mari kita berbincang sedikit lebih jauh lagi.
Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkugan Kementerian Pendidikan dan Lingkungan. Seperti yang dilansir dari Kompas.com, keringanan yang diberikan meliputi Cicilan UKT, Penundaan UKT, Penurunan UKT, Beasiswa, dan Bantuan Infrastruktur.
Baca : Rupiah Terjun Payung