Kita semua tak asing dengan lomba panjat pinang, sebatang kayu pohon pinang dilumuri oleh minyak dan oli sehingga licin,yang ditancapkan diatas lumpur atau didalam air, dan pada ujung bagian atas tiang digantungi oleh beragam hadiah. Perlombaan ini senantiasa muncul ketika memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indoensia. Yah, sebagai bentuk memeriahkan hari kemerdekaan yang diisi dengan berbagai perlombaan.
Dalam kontek memperingati HUT Kemerdekaan, perlombaan panjat pinang dimaknai sebagai bentuk gotong royong, namun sejarah mengungkapkan bahwa lomba panjat pinang memiliki kisah sejarah pelecehan dan penghinaan.
Pertunjukan panjat pinang dahulu dibuat oleh pemerintahan penjajah kolonial Belanda, sebagai bentuk bagian dari festival merayakan ulang tahun Ratu Belanda pada saat itu dan menyelenggarakan pertunjukan panjat pinang sebagai hiburan bagi mereka.
Pada masa kolonial, orang-orang Belanda tidak ingin terjamah oleh bangsa pribumi sehingga timbul "eksklusifitas" di lingkungan tersebut. Orang Belanda menganggap pribumi layaknya hewan yang dipertontonkan dan sebagai hiburan, dimulai dari hiburan seni tarian hingga hiburan dewasa bagi orang Belanda. Termasuk juga dengan pertunjukan panjat pinang.
Pada masa kolonial sendiri, orang Belanda menikmati pertunjukan kelompok-kelompok orang pribumi yang berlomba untuk mendapatkan hadiah yang terdapat pada puncak pohon pinang. Hadiah yang diberikan berupa bahan pangan yang mahal bagi pribumi. Mereka semua tergiur dan semangat mengikuti untuk mendapatkan hadiah guna menyambung hidup.
Sementara, orang-orang Belanda sendiri dibawah asik menonton dan menertawakan perjuangan pribumi untuk mendapatkan hadiah. Bagian lucu yang ditunggu tunggu oleh mereka kolonial ialah saat pribumi yang berusaha untuk mencapai puncak pohon pinang terpeleset dan jatuh ke dalam lumpur yang berada di bawah.
Tidak hanya sebagai hiburan, saat pertunjukan panjat pinang juga merupakan ajang judi dan taruhan bagi kaum Belanda. Mereka bertaruh kelompok mana yang pertama kali menang dan mendapatkan hadiah dari lomba tersebut.
Sungguh ironis bukan?
Para nenek kakek moyang kita dipertontonkan dan digunakan sebagai alat hiburan bagi orang Belanda. Mereka semua tergiur dan berjuang untuk mendapatkan hadiah kehidupan, disaat mereka gagal mereka mendapat bahan tertawa dan olok-olokan bahkan tak jarang mendapat cacian yang keji.
Namun, lomba tersebut kini diungkapkan sebagai lambang gotong royong yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.