Mungkin kita pernah berpikir terutama masyarakat di Pulau Natuna bahwa Pulau Natuna kecil potensi bencana. Anggapan masyarakat tentu beralasan karena secara geografis alam dan kehidupan yang telah mereka lalui memang sangat jarang terjadi bencana alam di Pulau Natuna.
Namun anggapan bahwa ancaman bencana hanya ada di kota-kota besar kini harus mulai kita singkirkan. Karena yang namanya musibah bencana itu bisa saja terjadi dan melanda daerah mana saja tanpa melihat sebesar apa indeks resiko bencananya.
Seperti studi kasus di Pulau Natuna yang semenjak penghujung tahun 2022 hingga awal tahun 2023 dilanda bencana beruntun. Padahala secara potensi menurut data Indeks Resiko Bencana (IRB) yang dikutp dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) Kabupaten Natuna masuk katagori sedang dengan nilai IRB 112.40.
Mari kita coba flashback kembali frekuensi bencana yang terjadi di Pulau Natuna dalam tiga bulan terakhir. Kejadian pertama yaitu bencana banjir bandang yang terjadi diakhir bulan Desember tahun 2022 yang merendam empat kelurahan dan ratusan rumah serta puluhan sekolah. Kemudian disusul 16 Januari 2023 kebakaran lahan yang melahap lahan seluas 100 hektar dan tanpa korban jiwa. Dan deretan terakhir kejadian bencana yang baru saja kita rasakan dan paling memilikukan bagi masyarakat Kabupaten Natuna adalah musibah banjir dan tanah longsor 6 Maret 2023 di Kecamatan Serasan dan Serasan Timur.
Kejadian longsor di Pulau Serasan Kabupaten Natuna yang menimbun satu kampung dengan korban 53 korban jiwa mengundang perhatian pemerintah Propvinsi dan Pusat. Mulai dari Kepala BNPB Pusat, Menteri Menko PMK, Menteri PUPR, Menteri Sosial, serta Gubernur dan Kapolda Kepulauan Riau langsung turun ke lokasi bencana untuk meninjau dan melakukan upaya normalisasi situasi.
Langkah Mengurangi Risiko Bencana
Langkah Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna dengan membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada tahun 2022 adalah salah satu upaya pemerintah daerah pada pelayanan pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana yang terjadi di Kabupaten Natuna. Walapun sebenarnya pembentukan BPBD Natuna tergolong lambat karena sejak tahun 2008 BNPB sudah mengeluarkan regulasi pedoman agar daerah membentuk BPBD.
Di Usia BPBD yang tergolong masih newborn yaitu baru satu tahun seakan langsung diuji kinerjanya oleh kejadian bencana yang melanda. Kita menyadari usia bumi yang kian menua, bencana alam adalah sebuah keniscayaan. Bencana datang tanpa permisi, serta waktunya pun tak mudah diterka membuat kita harus selalu waspada. Namun dengan adanya BPBD sebagai ujuong tombak penanggulangan bencana, Pemerintah Daerah Natuna bersama masyarakat harus mulai tanggap akan bencana, dan semangat mengurangi risiko akibat bencana, harus mulai digelorakan.
Bencana memang tidak bisa kita tolak kehadirannya. Namun bencana bisa kita sikapi dengan prilaku adaptif terutama bagi masyarakat yang berada dizona rawan bencana. Pengurangan risiko bencana memang merupakan salah satu tanggungjawab pemerintah daerah. Akan tetapi pemerintah tidak bisa bergerak sendiri tanpa partisipasi berbagai stakeholder melalui forum pengurangan risiko bencana. Forum pengurangan risiko terdiri dari beberapa unsur diantaranya pemerintah itu sendiri, masyarakat, dunia usaha, satuan pendidikan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat serta media masa.
Pemerintah daerah penting mendorong adanya forum pengurangan resiko bencana ini, mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga kecamatan dan kabupaten. Forum ini akan mangakomodir inisaitif pengurangan risiko bencana yang ada dimasyarakat, sebagai salah satu langkah membentuk perencanaan partisipatif mitigasi bencana.