Sejumlah Kompasianer menulis artikel tentang suka-duka tinggal atau bekerja diluar Indonesia. Bagian ‘suka’nya mungkin membuat iri mereka yang belum pernah mendapat kesempatan untuk sekedar menjenguk negara lain diluar Indonesia. Sementara bagian ‘duka’nya mungkin bisa menjadi pelipur lara bagi golongan ini, bahwa tinggal di negeri sendiri ternyata lebih menyenangkan. Ibarat pepatah ‘hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri'. Pada kesempatan ini saya ingin menceritakan pengalaman kami sekeluarga tinggal di beberapa negara selama beberapa tahun untuk sekolah dan bekerja. Saya pilih bagian 'duka'nya dulu. Semoga bermanfaat.
Dirampok Callmate
Antara tahun 1997-2002 kami sekeluarga tinggal di Inggris sementara saya melanjutkan studi di Leeds University. Secara rutin setiap beberapa hari sekali kami menghubungi keluarga di Indonesia melalui telepon. Yang paling murah saat itu menggunakan kartu telepon bernama ‘Callmate’, dengan tarif sekitar 20 pence (1 poundsterling = 100 pence) per menit. Kalau dirupiahkan pada waktu itu kira-kira setara dengan 3000 rupiah per menit. Sebaliknya, bila kita menelpon dari Indonesia ke Inggris tarifnya sekitar Rp13.000,- per menit, beberapa kali lipat. Meskipun tarifnya relatif murah kami tidak biasa berlama-lama di telepon, sekedar untuk melepas rindu saja dengan keluarga di tanah air.
Suatu ketika, seperti biasa sebelum menelpon ke Indonesia saya check dulu saldonya, ada sekitar 40 pound. Kemudian setelah menelpon beberapa menit (kurang dari 20 menit) pembicaraan saya tutup. Saya check lagi saldonya, ternyata tinggal sekitar 8 pound saja. Saya terkejut bukan main, karena, menurut hitungan saya, paling banyak habisnya sekitar 3 pound saja (20 pence per menit untuk 15 menit). Karena bagian ‘Customer Service’ perusahaan telepon itu biasanya susah dihubungi, saya memutuskan menulis surat (email) saja untuk menyalurkan protes. Seperti yang sudah diduga, protes saya tidak diterima, karena menurut catatan mereka saat itu saya menelpon ke Indonesia selama 163 menit. Saya merasa dirampok oleh Callmate. Sangat tidak masuk akal, bagaimana mungkin saya bisa menelpon selama itu (hampir 3 jam)
Saya merasa perlu berkonsultasi dengan pengacara (lawyer) universitas agar uang saya yang dirampok Callmate bisa kembali. Tapi menurut beliau, tidak sebanding antara jumlah waktu (dan mungkin juga uang) yang harus saya korbankan untuk tuntutan yang tidak seberapa jumlahnya. Jadi lebih baik diikhlaskan saja.
Hampir Dirampok NTL
Pernah kami berlangganan TV Kabel dari Cable & Wireless. Selain dapat menikmati siaran TV dengan jumlah saluran mencapai puluhan, kami juga mendapat fasilitas telepon dan akses ke internet melalui jaringan kabel yang sama. Sebelumnya kami sudah berlangganan telepon dengan BT British Telecom). Jadi saluran Cable & Wireless itu khusus untuk TV dan internet saja. Selama setahun pertama tidak ada yang aneh-aneh dengan tagihan Cable & Wireless. Tapi menginjak tahun kedua, kebetulan waktu itu Cable & Wireless telah diambil alih oleh NTL, mulailah ada yang kurang beres.
Sesekali kami memang menggunakan saluran NTL untuk telepon, terutama ke nomor tetap (fixed, bukan HP) karena tarifnya sedikit lebih murah dari BT. Tapi kami sama sekali tidak pernah memakai saluran BT maupun NTL untuk melakukan pembicaraan telepon international. Seperti cerita sebelum ini kami selalu memakai Callmate atau kartu lain yang serupa untuk panggilan ke negara lain, dan biasanya hanya ke Indonesia saja.
Kalau kita berlangganan telepon di negara maju, setiap bulan atau tiga bulan (tergantung jadwalnya) kita akan menerima tagihan lengkap dengan data tentang nomor telepon yang dihubungi, tanggal percakapan, waktu mulai percakapan, lama percakapan, dan jumlah yang harus dibayar untuk setiap percakapan. Nah, tagihan yang kami terima dari NTL itu menunjukkan ada panggilan telepon ke beberapa negara lain (Belgia, Mesir, dan lain-lain termasuk Libya) yang sama sekali tidak pernah kami lakukan. Jumlah tagihan nyasar itu mencapai sekitar 50 pound.