Lihat ke Halaman Asli

Anggota Polisi di Semarang di Pecat karena LGBT

Diperbarui: 29 Oktober 2021   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seorang polisi di Semarang yang berinisialkan TT di beri sanksi berupa Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) oleh Kapolda Jawa Tengah dikarenakan disorientasi seksual dan dianggap menyimpang.

Berawal pada awal tahun 2017 TT diduga melakukan hubungan  seks yang menyimpang, sehingga TT harus melakukan pemeriksaan di Mapolda Jateng. Pemeriksaan tersebut berlanjut dan pada puncaknya 18 Oktober 2017, TT dinyatakan melanggar peraturan polri tentang kode etik yaitu Perkap no. 14 tahun 2011 dan hasilnya adalah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Dan suratnya pun turun pada 27 Desember 2018.

Sedangkan seorang aggota polri memang diwajibkan menaati menghormati kesusilaan norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum. Sudah mana sepantasnya tindakan TT disini dianggap menyimpang dari norma agama.

LGBT jelas menjadi hal yang tabu dan tidak diakui secara yuridis oleh negara terutama pada norma agama itu menjadi suatu perilaku menyimpang yang sangat dilarang dan juga diharamkan.

TT menyadari bahwa dirinya memang mengalami disorientasi seksual, akan tetapi dia juga merasa tidak adil atas putusan yang mana ia diberi sanksi PDTH ( Pemberhentian Dengan Tidak Hormat ) atas apa yang dialaminya. 

Diapun merasa terdiskriminasi atas hal itu juga, yang mana iapun merasa hak-hak pribadi yang mana mestinya itu sudah dikatakan wajar di beberapa bagian belahan dunia tetapi masih dianggap tabu oleh masyarakat di Indonesia.

Di Indonesia sendiri memang LGBT menjadi hal yang sangat tabu, meskipun memang sedang marak terjadi akan tetapi pelaku LBGT ini ketika diketahui oleh masyarakat luas pasti akan mendapatkan sanksi sosial berupa dikucilkan ataupun diasingkan di daerahnya. Karena masyarakat menganggap LGBT ini sebagai suatu tindakan yang amat memalukan dan menyimpang yang perlu dihentikan.

Karena memang betapa kentalnya adat budaya dan juga norma agama di Indonesia menjadi salah satu faktor yang mana belum bisa dengan mudahnya menerima budaya baru juga bertentangan dengan aturan adat budaya dan juga norma agama yang berlaku dan sudah lebih dulu ada di Indonesia.

Maka sudah dapat dipastikan bahwasanya norma agama memiliki nilai dominan dalam mengatasi kasus yang dianggap sebagai sebuah penyimpangan di masyarakat. Sehingga penjatuhan sanksi yang diberikan oleh institusi akan kental dengan konsep diskriminatif. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline