Sikat gigi, indomie, super mie, kopi luwak, kopi kapal api, kopi ABC, kopiko, sampo clear, sampo pantene, sampo tresemme, tisu tesa, tisu paseo, tisu wajah, tisu wc, nugget ayam, kornet sapi, sekilo telur, setengah kilo gula, berboks-boks teh, teh poci, the tjatoet, teh sariwangi, teh maemunah, teh wati, rinso bubuk, rinso cair, rinso antinoda, roma gandum, roma kelapa, roma irama jangan begadang, roma irama judi, semuanya, dan semuanya berdesak-desakan di troli belanja ibu-ibu, para bapak rumah tangga, anak kostan yang baru dapet kiriman, dan lansia kurang kegiatan yang mengular menunggu giliran belanjaannya dihitung di meja kasir.
Dihitung buat dibayar. Dibayar biar bisa dibawa pulang. Dibayar oleh mereka yang beli, dihitung olehku sang penjaga kasir. Mbak-mbak supermarket. Mbak-mbak yang matanya sepet. Menurutmu mengapa itu antrian harus membludak di jam-jam makan siang, jam-jam krusial bagi perutku yang sial?
Diperparah dengan penanggalan di kalender yang bilang padaku kalau ini tanggal satu, waktunya gajian, dapat uang, kaya raya-lah dia Si Fulan. Kalender bilangnya tidak hanya padaku, tapi juga sama ibu-ibu yang sedang menyusun belanjaannya di meja kasir ini. Ibu terpelajar sepertinya. Dia kalau bukan guru matematika, pasti guru bahasa. Kacamatanya berkilat-kilat ungu diterpa lampu-lampu gantung yang lebih dari empat puluh satu jumlahnya. Selain itu, indikasi bahwa dia adalah guru juga bisa dilihat dari caranya menyusun belanjaan. Di meja kasir. Di hadapanku. Dikelompok-kelompokkan sesuai kategori, mana mi instan, mana mi ayam. Kolom dan baris, bak matriks. Terpelajar dan rapi.
275.500 rupiah ibu guru itu menyodorkan uangnya kepadaku. Pas. Tidak kurang, tidak kembalian. "Pas ya, Ibu," Aku masih sempat nyengir walau lelah. Ibu itu bilang terimakasih, dan kacamatanya berkilat-kilat sekali lagi.
Kulirik jam di monitor. Jam dua lebih enam belas menit. Aku belum sempat makan siang, antrian kasian ini sudah dimulai dari jam sebelas tadi. Nihil shift, tidak ada yang sukarela menggantikan aku sebentar, semua sama lelahnya di medan masing-masing, meja kasir. Meja kayu yang permukaannya dilapisi aluminium, yang sendainya dia dibuat menurun, benda-benda pasti bisa meluncur, atau yang lebih enak lagi seperti air, bisa meluncur.
Aku kepikiran tentang bagaimana kalau meja kasir diberi perosotan di mukanya, sehingga, barang-barang dari keranjang tinggal ditumpahkan saja semua. Tidak perlu ditata, tidak perlu lama. Kepikiran, aku kepikiran. Bersyukurlah aku sempat-sempatnya berpikir di jeda sebentar sebelum bapak tambun ini, setelah ibu guru tadi --meski meja kasir ini belum punya perosotan, sudah menumpahkan belanjaannya di hadapanku. Trala.
Botol-botol soda raksasa. Susu bear breand. Tiga buntal roti tawar. Ikan buntal setengah kilo. Pisau cukur. Permen kapas merk koala. Kupaksa lampu sensor yang merah, seperti warna kemasan boncabe level sepuluh bertatap muka dengan dua botol soda itu. Si kembar buto. Bagiku lebih mudah dan cepat, ketika pembeli merelakan rupiah mereka untuk barang dengan merk dan rasa yang sama.
Misalnya indomie. Sepuluh indomie, kalau semua rasa ayam bumbu asin, aku hanya perlu memerintahkan si merah itu menyalangkan matanya pada barcode salah satu unit, sisanya bisa kutuliskan di monitor, sejumlah yang dibeli.
"Nggak ada potongan mbak buat sodanya, kan beli dua," kata si bapak tiba-tiba. Tangannya mengacungkan dua jari utusan, didekatkan dengan pipi, seperti bergaya.
Sedang, nadanya bicara mengambang antara dia bertanya atau menawarkan pernyataan.
"Oh nggak ada, pak. Lagi nggak ada promo." Kalau lagi tidak ada diskon bapak beli dua belas pun ya nihil potongan.