Belakangan ini, jagat dunia maya dan dunia pendidikan tinggi tengah dihebohkan dengan banyaknya keluhan terkait mahalnya biaya UKT di berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN). UKT atau Uang Kuliah Tunggal merupakan biaya yang dibayarkan oleh mahasiswa kepada kampus setiap satu semester.
Sesuai namanya "tunggal", biaya yang dibayarkan tersebut sudah mencakup berbagai macam kebutuhan pembelajaran mahasiswa selama satu semester. Seperti di antaranya ada uang perkuliahan atau satuan kredit semester, biaya praktikum, dan lain sebagainya. Besaran UKT yang harus dibayarkan oleh setiap mahasiswa juga berbeda-beda disesuaikan dengan pendapatan ekonomi penanggung biaya kuliahnya.
Biasanya setiap PTN akan membuat tingkatan atau golongan besaran biaya UKT dari mulai golongan 1 sampai golongan sekian. Aturan seperti ini mulai diterapkan pada tahun 2013/2014 melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 Tahun 2013.
Tidak bisa dipungkiri, sistem UKT ini memiliki sisi positif karena membuka lebih banyak peluang masyarakat Indonesia untuk berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Mengingat pada beberapa PTN, UKT golongan 1 hanya dikenakan biaya UKT sebesar 500 ribu rupiah ataupun 1 juta rupiah. Sehingga ada kesempatan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah untuk dapat merasakan pendidikan tinggi dengan biaya rendah.
Namun setiap sistem pasti memiliki sisi positif dan negatifnya bukan? Selain sisi positif yang sudah disebutkan di atas, belakangan ini ramai sekali mahasiswa yang menyuarakan pendapatnya mengenai besaran UKT yang harus mereka bayarkan.
Mereka menilai bahwa besaran UKT tersebut tidak sesuai dengan kondisi ekonominya. Padahal secara konsep, UKT ini mengedepankan sistem berkeadilan, yakni kesesuaian besaran biaya pendidikan dengan kondisi ekonomi keluarga mahasiswa. Pada beberapa kasus, besaran UKT yang harus ditanggung mahasiswa bisa mencapai dua digit. Kira-kira apa yang menyebabkan besaran UKT mahasiswa melambung seperti itu?
Tingginya biaya UKT ini disinyalir sebagai dampak negatif dari PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) yang diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk soal pendanaan. Pemerintah akan mengurangi subsidi anggaran untuk PTN BH dan memberikan kebebasan kepada perguruan tinggi untuk mencari dana tambahan dalam keperluan pelaksanaan pendidikannya.
Besarnya biaya yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi, juga terbatasnya kucuran dana dari pemerintah menyebabkan munculnya fenomena berupa komersialisasi pendidikan yang kemudian mengakibatkan tingginya biaya UKT yang harus dibayarkan. Karena biaya UKT yang tidak lagi ramah bagi kaum menengah ini, banyak yang kemudian merasa keberatan dan kesulitan dalam membayarnya hingga terancam putus kuliah.
Menanggapi masalah tersebut, beberapa PTN memberikan beragam alternatif solusi seperti banding UKT, penangguhan UKT, dan lain sebagainya yang tentunya memiliki segenap kriteria yang harus dipenuhi agar mahasiswa dapat mendapatkan bantuan Solusi tersebut.
Selain itu, baru-baru ini muncul terobosan baru berupa pinjaman online. Ya, Anda tidak salah dengar, pinjol yang dianggap meresahkan ini menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah. Banyak perguruan tinggi, termasuk PTN yang kemudian menandatangani perjanjian kerja sama dengan pinjol Danacita.
Kerja sama dengan Danacita ini diharapkan dapat membantu mahasiswa yang kesulitan membayar UKT, karena melalui Danacita mahasiswa dapat membayar biaya UKT per semester dengan metode cicilan bulanan.