Banyak hal yang berubah semasa saya kuliah dalam rentang belasan bulan lalu. Saya berubah. Dia dalam esay saya di bawah ini, juga berubah.
16 Februari 2013, hampir setahun lalu, saya mengirimkan naskah esay untuk lomba menulis di fakultas saya, temanya tentang AAI. Alhamdulillah dua bulan kemudian saya dinyatakan mendapatkan juara dua dalam lomba ini.
AAI atau Asistensi Agama Islam adalah semacam mentoring yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa muslim semester satu di kampus saya. ada 10-12 anak dalam satu kelompok mentoring, dengan satu asisten atau mentor dari mahasiswa tingkat atas. tiap kelompok ini akan bertemu setiap 1-2 minggu sekali, belajar agama islam mulai dari hal yang paling prinsipal.
Berikut naskah esat saya. Masih jauh dari kategori tulisan yang baik.
AAI, apa gunanya?
Ada salah seorang teman, panggil saja namanya Mita. Dia adalah gadis mungil dengan pribadi yang baik dan santun, ramah dan mudah bergaul. Meskipun sudah memakai baju panjang saat kuliah, Mita belum berjilbab. Aku ingat Mita pernah berkata bahwa sebenarnya dirinya mulai malu berada diantara teman-teman lain yang sudah berjilbab. Dia ingin memakai jilbab juga, tetapi untuk memulainyapun dia masih malu. Ya, memakai jilbab memang salah satu langkah besar dan butuh kesiapan mental. Akupun dulu begitu.
Suatu hari Mita datang ke kampus dengan blus longgar dan rok panjang, lengkap dengan jilbab berwarna cerah. Mengira bahwa dia sudah mulai memakai jilbab, aku menyapanya. Ternyata dia memakai jilbab karena sore nanti ada AAI dengan kelompoknya. Hmm, bagus bukan? AAI bisa membuat seorang anak manusia mau merubah penampilannya menjadi lebih syar’i. Sejak saat itu, tiap kali dia memakai jilbab teman-teman pasti menyapanya dengan kalimat senada. “Mita nanti mau AAI ya?” Dan pasti dijawabnya dengan senyuman manis.
Seorang temanku yang jilbaber punya cara berbeda untuk menyapa Mita. Dia bilang “Subhanallah, Mita cantiiik banget kalo pake jilbab gini.” Mita seperti biasa hanya tersenyum manis, tetapi hey lihat! Senyumnya lebih manis dan berseri-seri. Aku yakin kalimat itu pasti mambawa arti yang berbeda bagi Mita. Mungkin dia jadi merasa lebih cantik saat jilbab itu menutupi rambutnya. Mungkin dia merasa mendapat dukungan untuk langkahnya yang mulai berani memakai jilbab. Atau mungkin dia makin termotivasi untuk permanen mengenakan jilbab di kemudian hari. Siapa tahu?
Dari interaksi kedua temanku itu, setidaknya aku belajar satu hal. Bahwa selain harus menjaga hubungan baik dengan teman, memberikan pujian dan menunjukkan dukungan juga tak boleh dilewatkan. Untuk mengajak teman agar mau mengenakan jilbab tak selamanya harus dengan ceramah yang terkesan menggurui. Cukup berikan pujian tiap kali dia mau memakai jilbab, itu akan membuatnya senang dan berpikir “Oh ada teman yang mendukungku.”
Sejak saat itu aku mengikuti cara temanku menyapa, tak lagi hanya dengan “Pasti Mita hari ini ada AAI,”
Selain memberiku pelajaran tentang interaksi social, AAI juga mengubah pola pikirku dan membuatku lebih bersyukur. Begini ceritanya.
Memasuki masa kuliah , ada satu hal yang membuatku senang tak terkira. Bagaimana tidak? untuk pertama kalinya aku akan terbebas dari pelajaran agama belasan jam seminggu, yang selama dua belas tahun belakangan aku rasakan memperberat beban sekolah. Masa-masa berat sekolah di yayasan islam adalah saat mendapat paket combo ulangan fisika dan hafalan hadits di hari yang sama. Atau paket combo super saat ulangan matematika dan kimia digabung dengan ulangan sejarah islam. Saat-saat seperti itu adalah saat dimana aku sangat ingin tidak ada pelajaran agama.
Setelah terlepas dari beban belajar agama, semua beban itu kini tak lagi tampak berat jika dibandingkan dengan harus mengerjakan laporan praktikum histology dan belajar untuk dobel pretes dalam semalam. Tidur hanya empat jam karena harus belajar, bukan karena nonton TV atau ngobrol, adalah rekor untukku. Karena seberat apapun masa sekolah dulu, sebanyak apapun serbuan ulangan dan tugas itu, aku tetap bisa tidur cukup. Aku yakin besok-besok aku pasti akan tidur kurang dari 4 jam karena beban kuliah semakin berat.
Kenyataan bahwa tidak ada lagi pelajaran agama saat kuliah ternyata membuat sholatku makin sering tidak khusyuk, ngajiku makin tidak terjadwal, dan yang paling mengherankan, aku merindukan semua guru agamaku. Kini tak ada lagi yang mengingatkan untuk tetap dekat dengan Allah setiap harinya. Yang ada hanya AAI yang meskipun cuma 2 jam seminggu, lumayan membantu untuk membuatku tetap di jalan-Nya, untuk tetap mengingat pelajaran islam yang mungkin akan terlupakan begitu saja jika tidak ada AAI. Karena AAI-lah aku bisa membagi ilmu yang aku punya dengan teman-teman, membuatku berterimakasih pada Allah karena aku tahu lebih banyak, bersyukur karena diberi kesempatan mendapatkan ilmu itu lebih awal.
Kini aku makin berterimakasih pada orangtuaku. Bersyukur karena mereka, bapak dan ibuk, membuatku sekolah di yayasan islam. Aku tak lagi memandang bahwa belajar agama itu berat. Kalaupun memang berat, kelak itu semua akan sangat berguna. Aku yakin itu.
Saya berubah. Dia dalam esay saya di atas ini, juga berubah.
Saya kini menjadi asisten/mentor AAI. Teman saya di awal esay inipun kini telah berjilbab rapi :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H