Lihat ke Halaman Asli

Adegan Merokok Lebih Berbahaya Daripada Free Sex dan Adegan Kekerasan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Adegan Merokok  Lebih Berbahaya Daripada FREE SEX dan adegan KEKERASAN?

By. Harini Rahmi

Pagi ini saya  menonton film yang ditayangkan di Global TV. Awalnya saya hanya ingin membaca buku di dekat sepupu saya yang kebetulan sedang menonton televisi. Ketika pandangan saya beralih kepada layar televisi, mata saya menangkap satu hal yang baru. Setiap adegan orang yang sedang merokok maka akan disensor.  Saya masih kurang yakin maka saya mencoba mengikuti film Charlie 2 tersebut.

Film ini seperti film Home Alone di mana pemeran utama adalah anak-anak yang diberi nama Felix Bender  adalah  yang diperankan oleh  Nikita Wokurka. Film ini cukup menarik karena mengangkat kisah perihal sebuah mobil  yang dapat berbicara, menyetir sendiri, serta menggunakan tenaga air. Mobil yang bernama Charlie 2 tersebut  memiliki hubungan emosional yang sangat  erat dengan Felix.

Setelah saya ikuti alur film tersebut hingga tuntas, ternyata benar adanya bahwa setiap adegan merokok maka akan disensor. Rokok akan disamarkan sehingga rokok tidak lagi terlihat bagi para penonton. Saya sungguh mengapresiasi langkah yang ditempuh oleh lembaga sensor film tersebut mengingat film ini adalah film untuk hiburan keluarga yang mana anak-anak adalah salah satu penontonnya.

Namun di sisi lain saya justru melihat ada sesuatu yang terlewatkan oleh lembaga sensor film Indonesia. Adegan kekerasan di mana ada seorang penjahat yang menodongkan pistol terhadap seseorang justru tidak di sensor. Selain itu ada salah satu adegan di mana memperlihatkan rumah Charlie [kakak Felix] yang sangat berantakan sehingga  ketika teman Felix, seorang wanita yang juga dokter  tanpa sengaja melihat sebuah celana dalam wanita yang tergeletak tidak pada tempatnya. Menurut saya ini justru adegan yang harusnya disensor mengingat itu adalah sebuah kediaman pria lajang dan penonton adalah anak-anak, maka tidak etis kiranya membiarkan adegan tersebut tanpa sensor.

Kemudian di bagian endingnya kembali saya terkejut karena ternyata lembaga sensor justru tidak menyensor adegan french kissing yang dijadikan sebagai penutup cerita. Wow,  what going on? Apa yang saya lihat dari tontonan tersebut justru membuat saya menyimpulkan bahwa bagi lembaga sensor adegan merokok justru lebih tidak layak untuk dikonsumsi [ditonton] daripada adegan freesex maupun kekerasan bagi perkembangan anak-anak. Kenapa saya fokus kepada anak-anak? Karena film ini adalah sebuah film hiburan untuk keluarga yang ditayangkan di musim liburan sekolah sehingga bisa dipastikan bahwa penonton film ini sebagian adalah anak-anak. Betapa anehnya negeri ini. Saya seperti ditampar oleh fenomena yang memaksa saya untuk kembali berpikir apakah kaca jendela saya yang kotor sehingga kain putih yang terjemur di samping rumah jadi tetap tampak kumal atau justru faktanya bahwa negeri ini dipenuhi oleh warna abu-abu atau hitam legam sekalian, tak ada lagi warna putih bersih yang digadang sebagai simbol kesucian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline