Lihat ke Halaman Asli

Arin

amateur

Tobatnya Budak Nikotin

Diperbarui: 18 Januari 2024   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang lelaki sedang merokok (sumber gambar unsplash.com/@wou1000)

"Kita sampai tak bisa merayakan pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya, anak kita masih belum pulih. Apa kau tidak berkeinginan merubah gaya hidupmu sebagai resolusi tahun ini?"

***

Kami masih berpisah kamar dan entah sampai kapan akan terus berjarak seperti ini. Aku takkan memberi kelonggaran lagi sampai ia bisa merubah kebiasaan buruknya. Aku kerap mendengar penyesalan dari mulutnya tetapi sampai sekarang belum melihat ada keseriusan darinya untuk memperbaiki diri, ia masih menjadi seorang suami dan ayah yang egois. Ketika tahu anakku menderita pneumonia, sepupuku bilang, aku ini sangat berani karena sudah bertindak tegas dan kejam pada Damian, suamiku, si pecandu nikotin. Kubilang padanya, jika sudah menyangkut kesehatan apalagi itu erat kaitannya dengan nyawa, aku takkan lagi mentolerir sekalipun kesalahan terletak pada anggota keluarga sendiri. Damian tak berhenti memohon agar tetap bisa menemani Eden tidur, tetapi aku keras menolaknya, "Sudah kubilang, sebelum kau berhenti merokok, aku takkan memperbolehkan kau tidur bersama kami!" Aku hendak menutup pintu kamar, tetapi tangan Damian menahannya. "Aku sudah ganti baju, ini tidak bau asap rokok. Ayolah Eva, aku pun sedang berusaha menahan diri untuk tidak merokok," katanya dengan wajah memelas penuh penyesalan. Aku menggeleng, apa yang dikatakannya tak pernah membuahkan perubahan yang diharapkan. "Kalau kau tidak berhenti juga, sama saja kau membunuh kami secara perlahan. Eden, pneumonia karenamu, kau tidak boleh dekat-dekat dengannya." Aku menutup pintu membiarkannya tidur sendiri yang kesekian kalinya.

***

Kata Damian aku bersikap sangat berlebihan, aku tertawa sambil menatapnya lurus-lurus dan berkata, "Apakah kebiasaan merokokmu yang menyebabkan anak sendiri jatuh sakit itu tidak berlebihan?" tanyaku. Ia bungkam, padahal biasanya akan melontarkan pembelaan. Aku teramat muak, nasihat dan dukunganku yang memintanya berhenti merokok seakan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, rasanya mulutku sudah berbusa saking seringnya memperingatkan Damian.

Dulu sebelum menikah ia tak pernah menyentuh tembakau, tapi enam bulan setelah kami menikah tanpa diduga ia mulai akrab dengan nikotin yang kuketahui dipengaruhi oleh rekan-rekan di tempat kerja barunya. Aku selalu marah dan jijik ketika harus membersihkan asbak yang selalu penuh. Anak kami, Eden, berusia dua tahun didiagnosis pneumonia setelah lebih dari seminggu mengalami demam, batuk dan sesak napas. Yang membuatku sangat sedih sekaligus marah penyebabnya adalah paparan asap rokok. Saat itulah seluruh kesabaranku runtuh, sebelum memutuskan untuk berpisah kamar aku sempat menangis meminta Damian berhenti merokok dan memikirkan lebih serius lagi dampak kesehatan bagi anak, istri, juga dirinya sendiri. Tak habis pikir awalnya suamiku masih sempat membela diri, "Padahal jika di rumah, selalu merokok di ruangan berbeda dengan Eden. Sengaja menjauh. Ternyata masih bisa kena juga?" Aku memejamkan mata sejenak, mengatupkan rahang rapat-rapat, kesal. Otakku serasa mendidih mendengar perkataannya yang kelewat polos. Damian tidak ikut mengantar Eden berobat dikarenakan sibuk bekerja, jadi ia belum tahu apa yang dijelaskan oleh dokter. Maka aku pun memberitahunya bahwa asap rokok yang mengandung zat berbahaya itu dapat bertahan kurang lebih empat jam di udara, jika merokok di dalam ruangan residunya menempel pada banyak benda di rumah seperti baju, karpet dan lainnya. Meskipun pintu tertutup, partikel asap yang lebih kecil tetap akan mudah menyebar ke ruangan lain. Aku berhenti bicara untuk menghela napas, rasanya bosan harus selalu mengedukasinya seperti ini. Damian mengangguk-angguk, bermimik seolah benar-benar menyesal.

"Rasa-rasanya tidak ada tempat aman dan steril selama orang serumah ada yang perokok. Jika kau tidak berhenti, aku dan Eden akan terpapar asap rokokmu, selamanya. Apa kau tidak mendambakan pertumbuhan dan perkembangan Eden yang sehat? Sekarang buktinya kau membuatnya sakit, jangan sampai keegoisanmu semakin memperburuk kondisi paru-paru, Eden. Stop polluting us!" pungkasku yang membuat Damian tak mampu melontarkan sepatah kata pun.

***

Sudah tiga hari ini aku nyaris tak menemukan puntung rokok di asbak Damian. Aku rutin membersihkan ruangannya setiap kali ia mandi, bau tembakau yang selalu membuat engap pun tak kentara lagi. Semua tempat sampah yang ada di dalam hingga luar sudah kuperiksa tetapi tak ada jejak puntung rokok yang bisa saja dibuangnya diam-diam. Sementara kakiku berjalan kembali masuk ke ruangan Damian, dadaku yang tetap dirong-rong kekesalan menjadi sedikit merasa ringan, apakah suamiku sudah berhenti merokok? Sulit dipercaya, memangnya ada yang secepat itu? Namun, kalau ini bentuk usahanya mengurangi rokok karena serius ingin tobat, aku harus mengapresiasinya. Sembari menunggu Damian selesai mandi, aku merapikan baju dan jaket yang tergeletak di sembarang tempat. Ketika tak sengaja membalikkan jaketnya, ada sesuatu jatuh dari salah satu saku dan mendarat di sofa. Aku mengerutkan kening ketika memandangi beda itu. "Apa ini?" Aku dibuat penasaran dengan benda tersebut, bentuknya seperti pulpen tetapi ukurannya lebih lebar, ada tombolnya dan ujung bagian atas terdapat seperti alat penghisap. Aku melirik ke pintu kamar mandi, sepertinya Damian sebentar lagi selesai, maka dari itu aku buru-buru menyelesaikan pekerjaan yang tersisa.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline