Estimasi kerugian ekonomi (dengan asumsi-asumsi yang dipakai) akibat perubahan iklim yang telah dihitung oleh Sekretariat RAN API, Bappenas (2019), mencapai Rp. 115.423 miliar pada tahun 2024 apabila tanpa tindakan adaptasi.
Sementara apabila diperbandingkan dengan tingkat PDRB Nasional di tahun yang sama (2024), sebesar Rp. 14.666. miliar). Menurut dokumen tersebut, apabila ada intervensi atau tindakan adaptasi, maka kerugian ekonomi hanya mencapai Rp. 62.193 miliar.
Kegagalan mitigasi perubahan iklim, membuat upaya Adaptasi semakin berat. Tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana lingkungan semakin besar. Pada sisi lain, krisis iklim atau bencana karena faktor iklim akan memberi tekanan hebat pada lingkungan yang kondisinya menurun secara kualitas dan kuantitas.
Dengan gambaran kondisi ini, program pembangunan pemerintah di 5 tahun ke depan harus menempatkan persoalan kegagalan pengelolaan lingkungan dan aksi untuk merespon krisis dan bencana iklim sebagai prioritas penting, melalui 'paksaaan' untuk mengoptimalisasikan peran dari lembaga publik, yaitu pertama melalui tindakan nyata dari rencana strategi yang telah disusun dan kedua, pengkondisian terhadap lingkungan untuk mendukung kapasitas adaptasi lembaga publik itu sendiri, dunia usaha maupun masyarakat sipil lainnya melalui berbagasi instrument kebijakan dan operasional.
Serta ketiga, memberi ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat pada tingkat tapak untuk mendayagunakan kemampuan diri dan lembaga desanya tanpa dibatasi oleh aturan atau mekanisme yang membatasi kemampuan adaptasi dan upaya pengurangan risiko bencana akibat faktor iklim. Aspek yang ke tiga inilah yang akan ditekankan secara ringkas pada tulisan ini.
Aspek yang ke tiga ini penting untuk dipahami oleh aparatur pemerintah, termasuk aparatur pemerintah daerah (yang selalu menunggu kebijakan di atasnya) karena dinamika masyarakat dan lingkungan lebih cepat bergerak dibandingkan dengan kesiapan pemerintah dan birokrasinya dalam menyiapkan instrument kebijakan dan operasional.
Aspek yang ke tiga ini, juga merupakan anti-tesis dari kondisi dimana agenda perubahan iklim, lingkungan dan keberlanjutan dinilai dan menjadi monopoli kaum akademisi, aktivis, teknokrat. Mencari solusi-pun selalu hanya membatasi pada kelompok tersebut.
Padahal realitas menunjukkan, banyak persoalan yang sampai saat ini gagal untuk diselesaikan walau solusi yang ditawarkan adalah hasil pemikiran orang-orang tersebut.
Di tingkat komunitas, penerapan pendekatan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana menghadapi tantangan yang khas. Saat yang sama, mendesak pula kebutuhan untuk mendemonstrasikan bukti dari praktek baik ketangguhan komunitas. Bentuk adaptasi atau penyesuaian diharapkan memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan sebagai salah satu syarat kunci.
Keberlanjutan, dimaknai dari berbagai aspek. Baik dari pembesaran skala luasan maupun jaminan berlangsungnya upaya tersebut secara kontinyu paska intervensi (Amin, Suryani, 2018)
Tumbuhnya gerakan-gerakan individu pada tingkat konunitas dalam beradaptasi lingkungan, khususnya dalam menghadapi perubahan iklim merupakan langkah pragmatis dan praktis.