Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) memiliki sembilan badan usaha milik daerah (BUMD), yaitu PT Bank Pembangunan Daerah (Bank Nagari), PT Asuransi Bangun Askrida, PT Grafika Jaya Sumbar, PT Dinamika Sumbar Jaya, PT Andalas Tuah Sakato, PT Pembangunan Sumbar, PT Andalas Rekasindo Pratama, PT Balairung Citrajaya Sumbar, dan PT Jamkrida Sumbar. Dari sembilan BUMD Sumbar tersebut hanya PT Andalas Tuah Sakato yang fokus kebidang pertanian. Padahal, sejauh ini sektor pertanian masih tercatat sebagai kontributor terbesar dalam struktur Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal itu berbarengan dengan fakta bahwa pekerjaan masyarakat di Sumbar rata-rata petani.
Selama ini masyarakat yang berprofesi sebagai petani sering mengeluh tentang fluktuasi harga panen mereka, khususnya komoditas ekspor, yang belum berpihak kepada meraka. Harga komoditas ekspor ditentukan oleh pasar dunia. Harga ini tidak bisa diintervensi oleh pemerintah atau pihak lain di dalam negeri. Jika ini dibiarkan, nasib petani akan tetap tidak berkejelasan.
Keluhan-keluhan yang seperti itu tidak akan pernah dipikirkan oleh perusahaan swasta karena mereka hanya memikirkan laba yang mesti dicapai dan kerugian yang harus diminimalisir. Sebab itulah kita butuh peran pemerintah dalam menangani permasalahan fluktuasi komoditas panen pertanian ini karena hanya pemerintahlah institusi yang bertugas mendengarkan keluhan dari masyarakatnya.
Sebenarnya untuk menghadapi situasi seperti itu, sejumlah pengamat ekonomi memang telah menyarankan petani suatu komoditas untuk membuat koperasi. Misalnya, petani sawit membuat koperasi. Tujuannya, koperasi tersebut membeli sawit petani dengan harga standar jika harga minyak sawit mentah (CPO) dunia sedang turun. Usul itu bagus, tetapi mewujudkan usul itu tidak mudah. Membangun koperasi tidak mudah, apalagi membangun koperasi yang tidak ada contohnya di Sumatera Barat, seperti koperasi petani suatu komoditas. Membangun koperasi saja susah, apalagi dibebani dengan tugas berat membeli hasil pertanian petani anggotanya. Ini persoalan modal dana.
Langkah riil yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk dan membangun BUMD pertanian. Bila sudah beroperasi, BUMD ini akan mengatasi keluhan petani karet tentang turun naiknya harga komoditas, khususnya komoditas ekspor, seperti karet, sawit, kulit kayu manis, gambir, kopi, kakao, cengkeh, dan kapulaga.
Kita tidak bisa lagi berharap kepada pemerintahan sekarang karena masa jabatan gubernur akan segera berakhir, tetapi kita bisa menggantungkan harapan kepada para pasangan kandidat yang akan bertarung di pentas Pilgub Sumbar 2020 ini.
Dari keempat pasangan kandidat, saya melihat hanya pasangan Nasrul Abit dan Indra Catri yang memokuskan program unggulannya untuk membangun BUMD pertanian dalam visi misinya sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumbar 2020. Nasrul Abit yang telah lama malang melintang di dunia birokrasi tampaknya paham apa rancangan kerja yang mesti didahulukan jika ia nanti terpilih sebagai Gubernur Sumbar. Pengalamannya sebagai Wakil Gubernur Sumbar pada periode sebelumnya membuatnya paham apa permasalahan di Sumbar. Ditambah lagi kesuksesan program Agam Menyemai yang digagas Indra Catri yang juga bersangkut paut dengan panen dan pangan masyarakat petani ketika ia menjabat sebagai Bupati Agam.
Saya yakin pasangan nomor urut 2 ini akan mewujudkan keinginan dari para petani Sumbar untuk memecahkan permasalahan fluktuasi harga komoditas eksport dengan membangun BUMD pertanian secepatnya ketika mereka menjabat kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H