Lihat ke Halaman Asli

Menyelamatkan Devisa Negara

Diperbarui: 10 April 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Devisa adalah pendukung utama kehidupan sebuah negara. Seluruh nadi kehidupan negara bergantung pada cadangan devisanya dan juga penduduk negara tersebut. Devisa negara tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya sebuah negara, namun dari apa yang bisa digunakan oleh negara tersebut untuk meningkatkan devisanya.

Untung bagi Indonesia, devisa negara tercatat meningkat tahun ini. Pada akhir Maret kemaren, tercatat cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi US$ 121,8 miliar. Sebuah rekor yang tinggi menurut Deputi Bank Indonesia. Cadangan devisa kita pernah berada di atas angka tersebut, sekali saja, sebelum krisis di Eropa, sekitar tahun 2011.

Apa yang bisa kita lakukan dengan cadangan devisa yang besar? Banyak hal tentunya. Indonesia dapat menggunakannya untuk membayar utang-utang yang tertinggal dari pemerintahan sebelumnya, membiayai impor dan kebutuhan pembangunan. Tentu saja harapan kita sebagai warga negaranya adalah porsi untuk pembangunan lebih besar.

Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan cadangan devisa negara? Tentu saja kita harus lebih banyak ‘menjual’. Seperti sektor pariwisata Indonesia yang masih berada di masa keemasan. Pengaruh perkembangan teknologi digital berhasil menarik banyaknya wisatawan untuk datang ke Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi telah menambahkan 10 destinasi wisata baru selain Bali. Perbaikan infrastruktur daerah juga membawa peningkatan terhadap wisatawan asing dan domestik.

‘Jualan’ kita yang lainnya adalah sektor industri, tekstil dan hasil bumi Indonesia. Contohnya saja Kopi Gayo yang semakin menjadi bintang di ekspor kopi Indonesia. Kopi Arabika Gayo telah berhasil menjajaki penjualan di 17 negara. Amerika sebagai salah negara importir terbesar Kopi Gayo Aceh. Dari ekspor Kopi Gayo hasil kebun rakyat saja, Indonesia bisa mengantongi Rp5 triliun per tahun. Sementara ada banyak hasil bumi Indonesia yang bisa diekspor, dan tentu saja akan menambah devisa negara.

Tentu saja selain jualan, Indonesia harus bisa ‘berhemat’. Layaknya seorang Ibu yang sedang mengatur pengeluaran belanja keluarganya, Indonesia harus bisa memilih-milih mana pengeluaran yang bisa ditekan. Impor tentu saja adalah sektor yang memiliki pengeluaran terbesar selain pembayaranutang negara.

Impor minyak contohnya. Kebutuhan konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,6 juta bph. Kebutuhan ini bisa naik bila memasuki musim liburan atau Lebaran yang akan datang bentar lagi. Padahal produksi minyak Pertamina hanya bisa memenuhi sekitar 890 ribu bph. Dari mana sisanya terpenuhi? Tentu saja dari impor minyak negara lain. Hal ini yang terus menggerus devisa Indonesia. Oleh karenanya, Pertamina sebagai BUMN yang bertanggung jawab akan hal ini harus bisa memutar strategi agar pengeluaran impor minyak dapat ditekan. Produksi harus ditingkatkan. Untungnya dari berita yang saya baca, Pertamina telah mengambil langkah untuk mengatasi hal ini.

Menjawab target yang diberikan Presiden Jokowi untuk bisa lepas dari impor minyak di tahun 2023, ada pengembangan kilang lama dan pembangunan kilang baru yang dilakukan Pertamina. Empat kilang lama akan ‘dimodernkan’ untuk meningkatkan produksi, yaitu kilang di Dumai, Cilacap, Balikpapan dan Balongan. Sementara, di Tuban dan Bontang akan dibangun kilang baru. Semua kilang ini akan dapat meningkatkan produksi minyak Indonesia. Kabarnya produksi kilang-kilang ini bisa mencapai 2 juta bph! Sebuah penghematan yang besar. Dan siapa tahu kita akan bisa meningkatkan ekspor minyak dan gas kita.

Menyelamatkan devisa negara adalah hal yang penting dan harus dilakukan oleh tiap pihak. Kembali seperti seorang Ibu yang sedang mengatur keuangan keluarganya, Indonesia nanti akan tersenyum puas di akhir bulan apabila tabungannya terus meningkat dari bulan sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline