Sebagai mana kita ketahui, YIS digugat oleh salah satu mantan orang tua siswa murid berinisial EH (50), terkait dengan pemalsuan nilai ijazah. Kasus pemalsuan ijazah tersebut, kini telah memasuki masa persidangan dengan tersangka S.
Disela-sela penggugat menggurus kasus pemalsuan ijazah tersebut, secara sewenang-wenang, pihak YIS mengeluarkan putri E, yaitu AE (kini 19 tahun). Kejadian tersebut terjadi pada tahun ajaran baru 2018 yang lalu, pada saat AE duduk di kelas IX.
AE dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tidak mengisi formulir pendaftaran ulang secara lengkap. Ditambah orang tua siswa AE, tengah memperkarakan pihak yayasan ke Polisi.
Akibat dikeluarkan dari sekolah, menurut EH, anaknya mengalami guncangan psikis, karena pihak sekolah sempat melakukan pengancaman dan pengusiran. Hal itu diperparah dengan tindakan pihak sekolah yang tidak memberikan kelengkapan administrasi, seperti nilai rapor, data pokok siswa untuk ujian sampai kepada barang-barang pribadi milik anaknya.
Merasa hak dan kepentingan anaknya dirugikan oleh pihak YIS, EH kembali memperkarakan pihak YIS dengan tuduhan dugaan tindak pidana diskriminasi terhadap anak.
EH beranggapan, perbuatan yang dilakukan pihak YIS melanggar berbagai macam undang-undang. Seperti UU Sisdiknas Pasal 4, PP No 17 Tahun 2010 Pasal 209, Permendikbud No 31 Tahun 2014 Pasal 8 Ayat (2), sampai UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1).
EH dalam materi gugatannya, meminta pihak yayasan menerbitkan surat permintaan maaf selama 7 hari berturut-turut, yang dikirimkan ke seluruh pihak orang tua wali siswa serta seluruh staf di YIS. Selain itu, EH juga menuntut ganti rugi sebesar 5 miliar rupiah untuk kerugian material dan imaterial yang dialami anaknya.
Pelaporan ke dua kepada YIS, atas dugaan tindak pidana diskriminasi terhadap anak ini, didaftarkan EH pada tanggal 31 Agustus 2018.
Perkara tersebut berlanjut sampai pemberkasan tahap I di Kejaksaan Negeri Sleman. Menurut pihak Kejaksaan, unsur-unsur pidana atas pelaporan yang EH ajukan, sudah terpenuhi. Namun pihak Kejaksaan memberikan catatan, yaitu unsur "setiap orang" belum terpenuhi.
Itu artinya, pihak kepolisian perlu mendalami lebih jauh terhadap tersangka yang sebenarnya pantas di untuk dijadikan tersangka.
Tetapi, rupanya pihak penyidik, yaitu Polres Sleman, mempergunakan 'catatan' pihak Kejaksaan, yaitu unsur "setiap orang" tidak terpenuhi, sebagai alasan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tertanggal 23 April 2021.
Bagi EH, penerbitan surat SP3 oleh Polres Sleman tersebut tidak mempunyai landasan hukum atau cacat hukum. Menurut EH, berdasarkan aturan yang ada, jika perkara pidana sudah menetapkan seorang tersangka, dan sedang dalam proses pemberkasan tahap I di Kejaksaan, itu artinya unsur-unsur pidana sudah terpenuhi.