Lihat ke Halaman Asli

Ari Kristanto

Wirausaha

Lapor Kapolri, Inilah Prestasi Kepolisian Kecil tapi Mampu Membongkar Kasus Besar

Diperbarui: 27 Juni 2021   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti layaknya alat ukur (timbangan, sped meter pada spbu dll) yang membutuhkan cek ulang secara berkala (tera ulang), begitupula pada lembaga pendidikan di tanah air. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seharusnya memiliki pengawasan secara berkala terhadap ijin, kurikulum, proses belajar ataupun doktrin-doktrin yang diajarkan pada sebuah lembaga pendidikan. Terutama lembaga pendidikan dari luar negeri (sekolah internasional), maupun sekolah swasta dalam negeri yang melabeli diri internasional.

Pengawasan tersebut sangat diperlukan agar lembaga pendidikan yang melakukan proses pendidikan di tanah air, dapat berjalan sesuai dengan arah, kebijakan dan tujuan pendidikan di Indonesia. Terpenting, pendidikan yang mengajarkan agama, konstitusi dasar negara, pemahaman kebangsaan, cinta tanah air dan budaya, serta budi pekerti, dapat sejalan dengan tujuan dan cita-cita besar bangsa Indonesia, yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pengawasan yang lemah akan hal tersebut diatas, terbukti dimanfaatkan oleh salah satu lembaga pendidikan swasta "YIS", yang melabeli diri 'sekolah internasional', yang ada di Sendangdadi, Mlati Kabupaten Sleman DIY.

Sekolah yang menyelengarakan pendidikan dari jenjang SD sampai SMA tersebut, terungkap tidak pernah mengajarkan dan mengujikan Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kepada anak didiknya.

Permasalahan itu terungkap dari laporan salah satu orang tua peserta didik di sekolah "YIS" tersebut. EH, ibu 51 tahun, warga Kalasan, menyekolahkan anaknya di sekolah itu di kelas 4 SD. Tahun 2016, anaknya dinyatakan lulus ujian nasional dan ujian akhir sekolah di jenjang Sekolah Dasar. Kemudian anak dari EH ini melanjutkan ke jenjang SMP di yayasan yang sama.

Meskipun sudah melanjutkan ke jenjang SMP, namun EH belum juga menerima ijasah sekolah dasar anaknya. Awal 2017, EH menanyakan ijazah SD milik anaknya di sekolah. Barulah pada 16 April 2018 dia menerima ijazah tersebut.

Setelah mengamati nilai-nilai yang tertera di di ijasah anaknya, EH menemukan kejanggalan pada daftar nilai. Korban menemukan ada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang selama ini tidak pernah diajarkan dan dujikan. Di kolom nilai kedua mata pelajaran tersebut, tertera angka 7,5.

Akibat dari perbuatan sekolah tersebut, EH merasa anaknya menjadi korban dan dirugikan secara moral. Kerugian itu antara lain, anaknya tidak dapat memahami dasar-dasar kaidah agama Islam serta tidak mengetahui Wawasan Kebangsaan dan Pancasila.

Kerugian moral juga dapat dilihat dari pemberian 'nilai palsu' yang disama ratakan ke semua anak didik, yaitu 7,5. Padahal kemampuan setiap murid atau anak didik, tentunya berbeda-beda. Kalau saja mata pelajaran tersebut diajarkan, tentu banyak anak didik yang dapat meraih nilai lebih dari 7,5.

Kerugian lainnya, EH mengaku anaknya tidak hafal Pancasila, tidak mengetahui lagu kebangsaan dan tidak mengetahui hari-hari penting nasional. Bahkan karena sekolah tidak pernah mengadakan upacara bendera, anak dari EH ini tidak mengetahui Hari Kemerdekaan Indonesia. Praktis, jiwa nasionalisme dan patriotisme tidak ada dalam diri anaknya.

Dengan adanya nilai palsu dalam ijasah anaknya, EH merasa bahwa selembar surat otentik atau dokumen penting tersebut cacat secara hukum, sehingga ditakutkan, anaknya kelak akan menemui permasalahan hukum karena penggunaan ijasah yang tidak otentik atau terdapat dokumen yang melanggar hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline