Sebagai seseorang yang suka hijrah dari satu kedai kopi menuju kedai kopi yang lain, hadirnya wabah COVID-19 memaksa kegiatan hijrahku dibekukan untuk sementara waktu. Kini peristiwa COVID-19 yang membuat akses terbatas untuk keluar rumah sepertinya sudah lama berhasil kita lewati. Kegiatan kini perlahan menuju kehabitatnya, para siswa kembali ke bangku sekolahnya, para artis kembali ke panggungnya, dan yang terpenting kamu kembali menjadi milikku HAHAHA. Senang rasanya kini aku bisa melanjutkan kegiatan hijrahku yang biasanya dilakukan sambil mencari tempat nyaman untuk membuka laptop, atau sekedar untuk mengusir rasa penat dalam kepala.
Hari ini aku merasa tingkat kejenuhanku memuncak, mungkin karena hampir 1 bulan aku menjalani kesibukan yang hanya itu-itu aja. Dalam upaya memerangi kejenuhan tersebut aku memutuskan untuk mengunjungi salah satu kedai kopi yang berada di Jalan Kanayakan Kota Bandung. Sesampainya di lokasi, perpaduan antara lay out yang tertata, ditambah rimbunan pepohonan dan udara sore Kota Bandung otomatis berhasil mengusir energi-energi negatif yang mengendap dalam diri. Di sana, aku memutuskan untuk memesan secangkir Japanese iced coffee menggunakan biji kopi asal Puntang Jawa Barat dengan proses pasca panen anaerobic process. Aneh, saat tetesan kopi mulai membasahi bibir dan melaju masuk ke tenggorokan, seketika terbayang nasib petani kopi di zaman kolonial. Kesegaran kopi yang kini mudah saja kita temukan hampir di setiap sudut kota, ternyata menyimpan masa lalu yang kelam untuk bangsa ini.
Masa lalu itu bermula saat VOC memperkenalkan tanaman kopi ke daerah Priangan pada permulaan abad ke-18, yang kemudian kopi tersebut ditanam untuk pertama kalinya pada tahun 1707. Eksotisnya pasar kopi dunia pada saat itu, membuat VOC termotivasi untuk bisa menghasilkan kopi dalam jumlah yang banyak. Akhirnya VOC menemukan Priangan ~waduhh Priangan tuh sekarang daerah mana ya ?~ sebagai wadah mereka dalam menanam kopi. Akibat penanaman kopi yang massive, taun 1723 dilaporkan bahwa di keresidenan priangan terdapat hampir 2.141.000 pohon kopi, 1.041.000 diantaranya sedang berbuah sedikit mengutip dari https://bertutur.com/charles-w-kinlock-perjalanan-dari-batavia-menuju-bandong-1852/ bahwa pada tahun 1852, desa sekitaran Bandung hampir keseluruhannya di manfaatkan sebagai kebon kopi. Di Priangan Barat, penduduk mulai menanam kopi di tanah milik sendiri dalam skala luas. Priangan Timur dan Tengah segera mengikutinya. Alhasil pada tahun 1725 kopi Priangan dapat mengungguli Yaman sebagai pusat utama produksi kopi dunia pada saat itu.
Kewajiban menanam kopi ternyata membuat para petani menjadi menderita, mereka bukan saja dipaksa menanam kopi, tapi harus juga sukarela mengantarkan hasil jerih payahnya itu ke gudang-gudang VOC, dan harus berlapang dada menerima berapa pun harga yang ditentukan oleh VOC. Saking sibuknya para petani karena mengurusi kopi, sampe-sampe mereka ngga punya waktu buat ngurusin padi. Padi juga menjadi korban keganasan sang kopi, sawah-sawah tempat padi tumbuh dan berkembang harus dilibas dan dialih fungsikan menjadi tanaman kopi. Petani yang kehilangan lahan-lahannya mengalami penurunan pendapatan, ~yang biasanya juga ga akan cukup untuk membeli mobil Pajero beserta paketan tenot-tenotnya kok~ lahan sawah tidak bisa lagi mereka andalkan untuk menyambung hidup, yang pada akhirnya para petani harus mengalami kelaparan, terutama di daerah Priangan dan Pantura Jawa.
Sesadarnya aku dari lamunan nasib petani kopi, aku cukup terkejut, ternyata sudah hampir satu jam aku melamun, coba sudah berapa banyak neng-neng geulis yang berlalu lalang dan luput dari pandangan ini akibat lamunan tersebut. Aku pun segera meneguk kopi pesananku tadi untuk kedua kalinya, dan haaah ~menghela nafas~ ini memang benar-benar hari yang aneh, rasa dari kopi yang aku pesan tidak lagi berbicara mengenai body yang soft, acidity yang lebih tertuju ke maliq atau citric, aftertaste yang clean, dengan sejumlah note yang bagi sebagian orang adalah gimmick. Kopi tersebut kini kalau digambarkan dalam notes mungkin menjadi : injustice, famine, and lot of struggle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H