Lihat ke Halaman Asli

Ari Junaedi

Pengajar, Konsultan, Kolomnis, Penulis Buku, Traveller

Mendekap Malam di Kajoetangan, Malang

Diperbarui: 16 Mei 2023   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana malam di sebuah kedai kopi di Kajoetangan, Malang (foto : Ari Junaedi)

                                                                          MENDEKAP MALAM DI KAJOETANGAN, MALANG

                                                                                                                      Ari Junaedi*

akulah rindu,
dalam seduhan secangkir kopi
saat segalanya menjadi asap kematian
selepas tertinggal pada jarak
dan kesanggupan kumenghirup

akulah rasa,
dalam makanan yang terhidang
saat segalanya menjadi irisan kehidupan
selepas berlabuh dalam luka

akulah puisi,
dalam setiap buku harian
saat rindu dan rasa memilih tiada
selepas ramalan luka perawan
menghancurkan hati di sepanjang air mata
yang terlanjur melupakan sabda cinta

Puisi "Akulah" yang ditulis L.Y. Misnoto di Malang, Jawa Timur, 2019 menjadi gambaran penggalan-penggalan rasa rindu terhadap masa lalu. Entahlah, apakah karena saya terlahir di Malang membuat saya selalu merindukan segala kenangan masa kecil di kota itu.

Kajoetangan begitu banyak menyimpan memori lawas (foto : Ari Junaedi) 

Selepas pulang sekolah di SD Kristen Merapi, kerap saya bersama teman-teman bermain ke rumah Handi. Rumah Keluarga Handi cukup unik karena berada di atap pertokoan di Kajoetangan, sebuah kawasan pertokoan di jalan utama di Kota Malang. Karena tinggal di roof top, rumah Handi menjadi salah satu idola saya bersama teman-teman untuk bermain. Malang di tahun 1970-an masih berhawa dingin. Kami selalu memakai tambahan baju penghangat agar tidak kedinginan.

Persahabatan saya dengan Handi maupun Tjiang Yung Chan yang beragama Konghucu, demikian pula dengan Agus Sartono dan mendiang Dwi Waluyo yang menganut agama Islam atau dengan Ruli, Diah dan Ina yang beragama Kristen berjalan rukun. Setiap Lebaran, mereka merayakan bersama dengan saya. Ketika Natal, kami ramai-ramai mendatangi gereja untuk melihat kemeriahan umat Kristiani.

Saat diajak kakek saya mengambil uang pensiunnya sebagai mantan anggota polisi Brigade Mobil (sekarang Brimob) di Kantor Pos Besar di seberang Alun-Alun Kota Malang, Jalan Kajoetangan selalu kami lewati. Bau asap bakaran sate ayam di Restoran Oen menjadi "harapan" yang tidak terkabulkan di masa kecil.

Uang pensiun kakek saya terlalu "sayang" jika sebagian dibelikan sate ayam Oen mengingat harganya mahal. Pengunjung Restoran Oen biasanya dari kalangan berduit atau orang-orang "Londo" -- biasa kami memanggil untuk orang asal Eropa - yang berkunjung ke Malang.  Kemampuan kakek saya hanya sanggup membelikan sate ayam yang dijual pedagang asal Madura di Pasar Besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline