Masa keemasan. Keabadian sirna selaras waktu yang semakin renta. Deretan mesin-mesin berkuasa dalam ruang mencipta karya indah, berkuasa sampai ujung dunia. Kini, riwayat kemegahan sirna, saat kebobrokan berkuasa semakin dikuasai keserakahan.
Setiap pagi hari tampak ribuan karyawan memadati pintu masuk sebuah pabrik. Laki-laki, perempuan muda asyik berjalan, muncul dari sudut-sudut desa, bahkan dari pematang sawah yang mewarnai keindahan sebelah bangunan-bangunan pabrik itu. Motor-motor dari berbagai arah mulai memasuki rumah-rumah kecil yang disulap menjadi penitipan motor. Kesibukan ribuan manusia setiap pagi tercipta, mengharapkan hidup lega dalam wajah-wajah gembira.
Siang hari, ribuan pekerja memadati berbagai tempat yang menyediakan berbagai jenis makanan. Beragam makanan diserbu, antrean mengular berebutan untuk membayar. Bukan hanya rumah-rumah makan, warung tegal, bakso, mia ayam, masakan padang, angkringan, makanan terhampar dalam gerobak tua pun ikut ambil bagian dalam kehidupan pekerja pabrik. Bahkan beragam jenis barang yang digelar memenuhi jalan sepanjang pabrik terus dipenuhi pekerja pabrik, asyik menawar dan memilih barang-barang berkelas. Lukisan kegembiraan dan keceriaan selalu terukir dalam wajah-wajah pedagang yang asyik menjajakan harapan.
Peristiwa itu tidak akan terhenti sesaat setelah waktu istirahat selesai. Sore hari, peristiwa akan terulang sampai senja tiba. Saat gelap tiba, kehidupan mulai menepi, dan ribuan pekerja mulai meninggalkan keramaian. Malam itu, pabrik yang berdiri kokoh di antara pematang-pematang sawah telah menghidupi ribuan manusia penuh harapan terasa sepi. Cerita masa lalu itu seolah mulai melupa, meninggalkan jejak kehebatan di masa jaya. Sepi itu kini terasa tidak hanya ketika malam tiba.
Cerita masa lalu itu seolah mulai melupa, meninggalkan jejak kehebatan di masa jaya. Sepi itu kini terasa tidak hanya ketika malam tiba.
Awal Perjuangan
Pabrik yang berdiri kokoh di lahan seluas 79 hektare di Sukoharjo adalah sebuah bukti kejayaan industri tekstil di Indonesia. Bukan hanya menyediakan beragam kain yang memenuhi toko-toko kain di Indonesia, PT Sritex telah menguasai industri seragam militer dunia. Sebuah kepercayaan yang tidak akan didapat tanpa bukti kualitas nyata.
Pabrik dalam tembok-tembok tua berbalut berhektar-hektar persawahan itu memang telah menampung empat lini produksi; pemintalan, penenunan, penyelesaian dan garmen. Bangunan berdiri tegak berbatas tembok tinggi di persawahan nan luas adalah bukti bertetes-tetes keringat sang empunya. Padahal awal mula PT Sritex adalah sebuah usaha perdagangan tekstil yang didirikan oleh HM. Lukminto pada 1966 di Pasar Klewer, Solo dengan nama UD Sri Redjeki. Pada 1968, UD Sri Rejeki mendirikan sebuah pabrik di Joyosuran, Solo untuk memproduksi kain mentah dan bahan putihan.
Perkembangan pesat karena kebutuhan semakin meningkatnya kebutuhan tekstik saat itu, akhirnya mendorong perubahan badan usaha UD Sri Redjeki diubah menjadi PT Sri Rejeki Isman dan terdaftar dalam Kementrian Perdagangan sebagai perseroan terbatas pada tahun 1978.
Pada 1982, PT Sri Rejeki Isman mengembangkan usaha dengan mendirikan pabrik penenunan pertamanya. Saat itulah pabrik ini mulai dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan militer NATO dan militer Jerman. Produksi yang semakin pesat berkembang akhirnya memakasa perusahaan untuk menambah karyawan hingga mencapai 18 ribu orang pada tahun 2918. Namun, pandemi Covid 19 ternyata ikut menggerogoti kedigdayaan perusahaan, pabrik ini harus bertahan, meski karyawan harus dipangkas hingga 11 ribu orang pada Juni 2024. Sebuah langkah tak bijak yang mengorbankan pekerja dan keluarga.