Kebudayaan. Mempertahankan cara hidup di tengah gelombang perubahan seperti sebuah keniscayaan yang terus tergerus arus zaman. Selalu dibutuhkan keringat yang begitu deras mempertahankan nilai kehidupan, apalagi keberagaman selalu dipertentangkan.
Ketika selalu dihadapkan pada kekayaan nilai, norma, kepercayaan, tradisi, bahasa, dan seni, kekayaan bangsa Indonesia sebenarnya sungguh tak terbatas. Kekayaan dalam segala aspek kehidupan tak bisa dirangkum dan dibuat menjadi sebuah miniatur sederhana yang bernama Indonesia. Begitu luas membentang, masyarakat kita hidup dalam beragam cara dan bentuk yang begitu sulit melepaskan diri dari komunitasnya.
Bentang budaya yang begitu luas itu pada akhirnya membentuk nilai toleransi dan penghargaan hidup untuk saling memiliki; dalam satu bangsa. Sayang, terkadang kepentingan kekuasaan dan ekonomis praktis membenturkan kekuatan nilai hidup pada peringkaran dan perpecahan. Rakyat menjadi objek, budaya menjadi komoditas yang terus diperjualbelikan untuk meraih keuntungan.
Mempertahankan, apalagi membangun kembali kebudayaaan memang akan terasa begitu sulit. Selalu dibutuhkan keberanian, kerja keras dan tetes keringat yang tiada terhingga, karena setiap langkah mempertahankan kebaikan nilai dalam masyarakat selalu dianggap tidak membawa keuntungan.
Mungkin kita bisa merasakan runtuhnya nilai gotong royong, nilai yang selama ini dipahami membentuk adab suatu masyarakat. Penurunan nilai itu begitu terasa ketika kita hadir di tengah masyarakat kota dengan individualisme dan mobilitas sosial sangat tinggi.
Mungkin kita bisa merasakan runtuhnya nilai gotong royong, nilai yang selama ini dipahami membentuk adab suatu masyarakat. Penurunan nilai itu begitu terasa ketika kita hadir di tengah masyarakat kota dengan individualisme dan mobilitas sosial sangat tinggi.
Pamor kebudayaan memang begitu mudah terhempas, apalagi globalisasi,urbanisasi, pendidikan, konflik dan media masa pun mengalami perubahan yang tidak dapat dikendalikan. Arus perubahan begitu cepat, sementara beragam kebijakan tak pernah menyentuh visi kebudayaan. Kita gagal fokus dan tak menganggap kehidupan nilai sebagai sebagai arah kebijakan pembangunan.
Kita selalu menganggap menganggap pembangunan infrastuktur lebih utama, lebih bermanfaat, dan lebih menguntungkan. Dana besar begitu mudah digelontorkan. Pada saat yang sama, kita mengamini penghancuran hutan-hutan adat untuk perkebunan.
Bukan hanya tidak menguntungkan, membangun visi pembangunan budaya dianggap tak akan menghasilkan apa-apa. Dibandingkan mengangkat budaya, merangkul pembangunan infrastruktur lebih menguntungkan dan lebih menarik pemodal, pinjaman begitu mudah dicairkan.