Membaca. Kebiasaan membaca dianggap kebiasaan kuno dan membuang-buang waktu saja. Apalagi kehadiran sumber digital yang begitu membelenggu dan tampil lebih cantik, turut menyumbang kemampuan membaca semakin terlunta.
Media, teknologi digital telah mengubah cara manusia menikmati sebuah informasi. Begitu cepat, setiap detik informasi tersebar menyasar masyarakat berbagai kalangan, semakin tak terbatas dan semakin menguasai peri kehidupan. Siapa yang tak sanggup mengikuti, dialah yang harus menanggung diri, tak tahu apa-apa dan semakin terkungkung tanpa harga diri.
Kecepatan informasi yang semakin dahsyat, semakin melemahkan ketrampilan memahami lebih dalam sebuah informasi. Tanpa dibaca, informasi apapun yang diterima secepat mungkin dibagi ke sesama. Maka, tumbuhnya berita bohong semakin menambah runyam kehidupan sebuah masyarakat. Informasi dalam balutan kebohongan-kebohongan tumbuh seiring tumbuhnya egoisme yang semakin menutup diri.
Kebiasaan baik untuk memperkaya informasi semakin sulit dilakukan sehingga buku-buku di berbagai perpustakaan tetap rapi menghiasai rak-rak buku. Sementara toko-toko buku yang berjuang untuk mempertahankan diri semakin tak mampu berdiri, sebagian gulung tikar dan harus putar haluan dengan bisnis yang lain.
Kebiasaan baik untuk memperkaya informasi semakin sulit dilakukan sehingga buku-buku di berbagai perpustakaan tetap rapi menghiasai rak-rak buku.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengaku prihatin dengan Indeks Literasi Indonesia di dunia berdasarkan Survei PISA 2018. Survei tersebut menyebutkan urutan Indonesia berada di nomor 74 dari 79 atau enam peringkat dari bawah. Ia memperinci survei tersebut bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada skor 371, sementara rata-rata negara OECD meliputi Australia, Austria, Belgia, Kanasa, Chili, Kolombia, Kosta Rika, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, dan Yunani memiliki skor 487. (1)
Adapun menurut penilaian berdasarkan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM), skor Indonesia pada tahun 2022 sebesar 64,48 dari skala 1-100. Angka tersebut dinilai masih belum menggembirakan dan terus menjadi masalah nasional yang sangat memprihatinkan. (1)
Indeks Literasi Indonesia sangat memprihatinkan.Wajah-wajah perbukuan juga semakin terlupakan. Menulis buku tak lagi menjadi aktivitas ilmiah yang menyenangkan. Orang-orang tak lagi percaya diri membawa buku, apalagi membaca di ruang-ruang terbuka dan tempat umum.